BAB III
PERKEMBANGAN
DALAM TULISAN MUS{H{AF UTHMANI
Setelah kita mengetahui sedikit tentang penulisan Alquran pada masa
Uthmani, maka yang perlu kita ketahui mus}h}af Uthmani hanyalah berbentuk
lukisan yang mana disitu tidak ada harakat dan titiknya (tidak sama dengan
Alquran yang kita pegang sekarang). Namun dengan bergesernya waktu, Alquran
mengalami perkembangan dan pelengkapan. Dan dengan bergesernya waktu Alquran
dilengkapi dengan harakat dan titik-titik agar tidak terdapat kesalahan dalam
bacaan dan bisa membedakan antara satu huruf dengan huruf yang lain.
Perkembangan dalam penulisan mus}h}af Uthmani tergolong sesuatu yang
penting diketahui, agar kita (sebagai orang
Islam) mengetahui betul tentang hal yang bersangkut-paut
dengan Alquran. Mungkin, kita tidak pernah menyangka bahwa penulisan Alquran
yang ada ditangan kita sekarang sudah mengalami perubahan berkali-kali dalam
penulisan, mulai dari penulisan di masa Nabi Muhammad saw, kemudia Abu Bakar
(wafat. 13 H), dilanjutkan oleh Uthman (wafat. 25 H), dilengkapi oleh Abu
al-Aswa>d al-Duali (wafat. 67 H),
disempurnakan oleh Khalil bin Ahmad (wafat. 170 H), dan seterusnya. Untuk
mempersingkat pembahasan disini akan dibahas satu-persatu dari sejarah mencetus
harakat (Shakl/Nuqt}ah al-I’ra>b) dan titik (Nuqt}ah/Nuqt}ah
al-I’ja>m).
A- Sejarah Peletakan Harakat (Shakl/Nuqt}ah
al-I’ra>b)
Maksud dari harakat disini ialah sesuatu yang menunjukkan pada bacaan
huruf/menghilangkan kesamaran baik itu berupa huruf hidup (berharakat) atau
mati (sukun) tiada beda di awal, pertengahan, atau akhir kalimat. Maka, dari
sini bisa kita tarik sebuah kesimpulan arti dari kata harakat (Shakl)
adalah menghilangkan kesamaran dalam bacaan.
Para sejarawan telah bersepakat, bahwa pada permulaan munculnya Islam
(permulaan abad pertama hijriah) orang-orang Arab tidak ada yang mengetahui
harakat dengan istilah di atas. Meski mereka tidak mengetahui istilah harakat
dan titik, namun mereka berinteraksi dengan lafad-lafad yang seakan-akan
beharakat dan bertitik menurut kabiasaan dan fitrah mereka yang tidak terjadi
kepiluan dan kesalahan dalam berbicaan. Semua itu disebabkan mereka benar-benar
fasih dan menguasai balaghah. Mereka berbicara dengan menggunakan
kalimat-kalimat fasih walau tidak mengetahui kaidah-kaidah. Oleh karena itu,
pada permulaan penulisan Alquran dalam tiga tingkatan yang telah tertulis di
atas tanpa menggunakan harakat dan titik, karena dalam jiwa mereka sudah
tertanam bahasa Arab dan juga dalam pembacaan Alquran melalui talaqi dan periwayatan
dari mulut ke mulut. Dengan cara demikian, maka Alquran tidak membutuhkan
harakat dan titik.
Pada saat kekuasaan Islam melebar dan tercampur baurnya antara orang
Arab dan non Arab, kefitrahan dalam berbahasa Arab pun mulai pudar dan mulai
terjadi kepiluhan berbahasa Arab. Dari sinilah para ulama mulai memusatkan perhatian
serta menjaga Alquran dari kepiluhan dan kesalahan, melihat Alquran itu sendiri
merupakan sumber primer dan rute menuju jalan yang benar bagi umat Islam. Bersamaan
dengan terjadinya kepiluhan dan kesalahan dalam membaca Alquran terdapat
sebagian di anatar umat Islam yang menguasai ilmu Nahwu (Syntax),
unggul dalam hafalan Alquran, dan bacaannya seperti Abu al-Aswa>d al-Duali
(wafat. 67), Yahya bin Ya’mar al-Dawa>ni (wafat. 90 H ), Nas}r bin
‘A<s}im al-Laithi (wafat. 90 H), dan lain-lain.
Para sejarawan masih berbeda pendapat mengenai penggagas pertama dalam
pembuatan harakat, di antara mereka ada yang mangatakan Abu al-Aswa>d, ada
juga yang berpendapat Nas}r bin A<s}im, dan sebagaian lagi berpandangan
Yahya bin Ya’mar. Akan tetapi setelah meneliti dari sejarah dan riwayat yang
ada, ternyata lebih kuat pendapat sejarawan yang
menyatakan Abu al-Aswa>d peletak pertama harakat dalam Alquran. Di bawah ini
merupakan riwayat-riwayat yang memperkuat Abu al-Aswa>d peletak harakat:[1]
1- Tertulis dalam sebuah riwayat, suatu ketika Abu
al-Aswa>d mendengar kesalahan bacaan yang keluar dari lisan anak putrinya
sendiri, dari situ Abu al-Aswa>d berfikir untuk menyelamatkan semua umat
Islam dari kesalahan dalam bacaan Alquran.
2- Dalam riwayat lain menyatakan, suatu saat tanpa sengaja
Abu al-Aswa>d mendengakran seorang laki-laki dari Persia bernama Sa’d
terdapat kesalahan dalam berbicara, lantas orang sekitar yang mendengarkan
tertawa terbahak-bahak sebab kesalahan itu.
3- Riwayat lain mencatat, bahwa Ziya>d (pemerintah
Bas}rah) mendengarkan kesalahan dalam berbicara dari penduduknya yang menghadap
padanya, kemudia ia melaporkan pada Abu al-Awa>d memohon agar Abu
al-Awa>d melakukan sesuatu yang bisa mencegah dari kesalahan saat berbicara.
4- Tertuang dalam salah satu riwayat, suatu ketika Abu
al-Awa>d mendengarkan kesalahan bacaan Alquran dari sebagian umat Islam.
Melihat keadaan yang seperti itu Abu al-Awa>d berinisiatif untuk membuat
rumus harakat pada Alquran dengan menggunkan titik-titik pada setiap huruf dan
membuat buku spesial dalam masalah Syntax.
5- Dan dalam
riwayat lain menyatakan, Ali bin Abi T{alib mendengarkan kesalahan dalam bacaan
di negara Irak, kemudian Ali bin Abi T{alib memerintah Abu al-Aswa>d untuk
membuat koredor ilmu Nahwu.
Dari riwayat-riwayat yang tercantum di atas lebih banyak mengindikasikan
peletak pertama dalam pembuatan harakat adalah Abu al-Aswa>d, namun walau
demikan para pakar sejarah masih berbeda persepsi kala menyimpulkan
riwayat-riwayat di atas. Sebagain dari mereka beranggapan Abu al-Aswa>d adalah
peletak pertama harakat Alquran dan ilmu Nahwu, sebagaian lain berpandangan ia
hanya peletak ilmu Nahwu, dan selagian lagi mempunyai persepsi Abu al-Aswa>d
hanya pencetus harakat Alquran. Walau para sejarawan berbeda pendapat perihal penemuan
Abu al-Aswa>d, akan tetapi mereka sepakat bahwa membuat harakat yang berupa
titik-titik terrealisasikan pada masa pemerintahan Ziya>d di Bas}rah yang
bermula dari tahun 44 samapai tahun 53 hijriah.
Untuk memperkuat tendensi bahwa Abu al-Aswa>d adalah perumus pertama pembuatan
harakat, maka tidak berlebihan bila pemakalah mencatumkan sebuah riwayat dari
Abu Bakar al-Anba>ri
(ما رواه ابو بكر الأنباري قال : حدثني أبي قال : حدثنا أبو عكرمه قال : قال العتبي : كتب معاوية إلى
زياد يطلب عبيد الله ابنه ، فلما قدم عليه كلمه فوجده يلحن ، فرده إلى زياد وكتب
إليه كتاباً يلومه فيه ويقول : أمثل عبيد الله يضيع ؟ فبعث زياد إلى أبي الأسود
فقال : يا أبا الأسود إن هذه الحمراء قد كثرت وأفسدت من ألسن العرب ، فلو وضعت
شيئاً يصلح به الناس كلامهم ويعربون به كتاب الله ، فأبى ذلك أبو الأسود وكره إجابة
زياد إلى ما سأل ، فوجه زياد رجلاً فقال له : اقعد في طريق أبي الأسود ، فإذا مر
بك فاقرأ شيئاً من القرآن وتعتمد اللحن فيه ، ففعل ذلك .
فلما مر به أبو الأسود رفع الرجل صوته
يقرأ ) أن الله بريء من المشركين ورسولِه ( فاستعظم ذلك أبو الأسود وقال : عز وجه
الله أن يبرأ من رسوله ، ثم رجع من فوره إلى زياد فقال : يا هذا ، قد أجببتك إلى
ما سألت ، ورأيت أن أبدأ بإعراب القرآن ، فابعث إليّ ثلاثين رجلاً ، فأحضرهم زياد
فاختار منهم أبو الأسود عشرة ، ثم لم يزل يختارهم حتى اختار منهم رجلاً من عبد
القيس ، فقال : خذ المصحف وصبغاً يخالف لون المداد ، فإذا فتحت شفتيّ فانقط واحده
فوق الحرف ، وغذا ضممتها فاجعل النقطة إلى جانب الحرف ، وإذا كسرتها فاجعل النقطة
في أسفله ، فإن أتبعت شيئاً من هذه الحركات غنة فانقط نقطتين ، فابتدأ بالمصحف حتى
أتى على آخره ، ثم وضع المختصر المنسوب إليه بعد ذلك)[2]
Dari riwayat di atas bisa kita fahami
bahwa Abu al-Aswa>d adalah penemu pertama dalam pembuatan harakat bahasa Arab pada umumnya dan harakat
Alquran pada khusunya. Adapun sebab-sebab membuatan harakat tiada lain kecuali
semakin merosotnya orang-orang Islam dalam memahami bahasa Arab yang menjadi
meyebabkan kesalahan saat berbicara dan membaca teks Arab. Melihat kondisi
seperti itu, Ziya>d memerintah Abu al-Aswa>d untuk membuat rumus bacaan
agar orang Islam tidak salah dalam membaca Alquran.
Selain itu, bila diteliti dari riwayat
di atas, maka kita bisa mengetahui metode bacaan yang diterapkan oleh Abu
al-Aswa>d hanya berupa titik-titik sebagai pemisah antara huruf yang harus
dibaca Fathah, D{ammah, dan Karsrah.
Titik-titik yang berposisi sebagai harakat tidak sembarangan diletakkan, akan
tetapi mempunyai lokasi
tersendiri agar mudah memisahkan antara tiga harakat tersebut. Sedangkan
penempatan titik-titik itu ialah: bila huruf berkarakat Fathah, maka ditandai
dengan titik di atas huruf, jika berkarakat D{ammah, ditelakkan di samping
huruf, dan bila Kasrah, maka titik berposisi di bawah huruf. Peletakan titik
ini diisharahkan dari perkataan Abu al-Aswa>d sendiri dengan pekataannya
“Apabila kedua bibirku terbuka, maka berilah titik di atas huruf, bila kedua
bibirku berkumpul, maka beri titik di semping huruf, dan bila kedua bibirku
terpisah, maka beri titik di bawahnya.”
Harakat dengan menggunakan system
titik-titik seperti yang ditetapkan Abu al-Aswa>d ini berjalan mulus tanpa
adanya perubahan hingga datangnya masa Khalil bin Ahmad al-Fara>hi>di
(wafat. 170 H). Pada saat itulah Khalil mulai berfikir untuk mengembangkan
rumus harakat buatan Abu al-Aswa>d dengan harapan agar semua orang yang
mebaca Alquran mudah membedaan antara satu harakat dengan harakat lain,
sebagaimana keterangan dari riwayat al-Da>ni
(الشكل الذي في الكتب من عمل الخليل ،
وهو مأخوذ من صور الحروف ، فالضمة واو صغيرة الصورة في أعلى الحرف ؛ لئلا تلتبسَ
بالواو المكتوبة ، والكسرة ياء تحت الحرف ، والفتحة ألف مبطوحة فوق الحرف)
“Harakat yang terdapat pada kitab-kitab
merupakan karya buatan Khalil, yang mana harakat itu dikutip dari gambar huruf.
Harakat D{amah diambil dari huruf Wau kecil terletak di atas huruf ‘agar tidak
sama dengan huruf Wau yang tertulis’ Kasrah dari Ya’ posisi di bawah huruf, dan
karakat Fathah alif terlentang di atas huruf.”[3]
Dari riwayat di atas kita bisa
memahami bahwa harakat buatan Abu al-Aswa>d mengalami sebuah perubahan saat
Khalil bin Ahmad datang. Dengan menggunakan rumus-rumus baru yang lebih mudah
dicerna oleh semua kalangan dan tanda bacanya menggunakan huruf-huruf itu
sendiri seperti harakat Fathah menggunakan Alif, Kasrah menggunakan Ya>’,
D{amah isyarahkan dengan Wau, Tashdid dengan kepala huruf Shi>n, Sukun
(tanda huruf mati) dengan menggunakan kepala huruf H{a>’, dan lain-lain.[4]
Mungkin bagi kita yang hidup pada adab
ke-15 hijriah bisa langsung menerima jadi harakat produk Khalil bin Ahmad,
sebab kita ‘buta’ akan penggagas pertama harakat yaitu Abu al-Aswa>d. Bila
kita tengok dari sejarah yang telah lampau, kita akan menemukan penolakan
renovasi harakat yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad. Pada saat Khalil
menawarkan model harakat yang berbeda dengan Abu al-Aswa>d, penawaran
tersebut tidak langsung mendapat respon positif dari pada ulama pada saat itu.
Mereka menolak harakat buatan Khalil dan melarang semua orang menggunakannya.
Mereka lebih memilih harakat yang hanya menggunkan titik-titik karya Abu
al-Aswa>d dengan alasan model harakat buatan Khalil adalah harakat untuk
shair dan tidak layak diterapkan pada Alquran, selain itu mereka juga beralasan
karya klasik lebih utama dari pada karya modern.[5]
Tidak salah jika mereka berkata demikian, karena bila dilihat lagi dari tahun
kelahiran, Abu al-Aswa>d tergolong orang yang hidup di masa sahabat Nabi
saw. Ia meinggal dunia pada tahun 67 hijriah, sedangkan Khalil bin Ahmad
meninggal pada tahun 170 hijriah.
Namun, dengan bergesernya waktu
kepekaan umat Islam pada khususnya mulai merosot sehingga membutuhkan harakat
yang lebih jelas untuk membedakan satu bacaan dengan bacaan lain, maka harakat
Khalil pun diterima dengan lapang dada. Dan bila diteliti lagi maksud dan
tujuan Khalil membuat harakat sedemikian rupa hanya untuk menjaga ontetitas
Alquran dari perubahan dan penggantian bacaan.
B- Benarkah Harakat Karya Abu
al-Aswa>d Adopsi dari Bahasa Lain?
Dikala membahasa soal harakat, maka
tidak akan lepas dari perdebatan para sajawaran orientalis mengenai asal-muasal
harakat dalam Alquran, tiada beda harakat yang digagas oleh Abu al-Aswa>d
al-Duali ataupun penyempurnaan dari Khalil bin Ahmad al-Fara>hi>di.
Tertulis dalam sebagian buku-buku sejarah bahasa Arab, bahwa harakat buatan Abu
al-Aswa>d hasil adopsi dari orang-orang Surya>ni. Adapun penggagas pikiran adopsi
seperti ini adalah salah satu tokoh orientalis yang bernama Jurji Zidan.
Pertama-tama ia menejelaskan tentang membuatan koredor ilmu Nahwu, ia berkata “Saya
mengira/berpraduga, dalam penyusunan bab-bab ilmu Nahwu orang-orang Arab mengadopsi
dari bahasa Suryani.” Kemudia ia melanjutkan pernyataannya dengan menyinggung
Abu al-Aswa>d yang telah dikultuskan sebagai peletak pertama ilmu Nahwu “Seakan-akan
Abu al-Aswa>d telah mempelajari bahasa Suryani atau mendalami ilmu Nahwunya,
kemudia Abu al-Aswa>d memiliki keinginan untuk menyusun ilmu Nahwu dengan
mengadopsi ilmu Nahwu Suryani.”[6]
Setelah penjang lebar ia menjelaskan
asal-muasal pembuatan ilmu Nahwu, mulailah ia menyinggung soal harakat yang
telah dirumuskan Abu al-Aswa>d. Zidan pun berkata “Menurut pendapat yang
lebih unggul, Abu al-Aswa>d menjiplak dari harakat orang-orang al-Kaldan
atau al-Suryani yang bertempat di Irak. Dalam tulisan mereka sudah tercantum
titik-titik besar yang diletakkan pada setiap huruf baik terletak di atas atau
di bawah huruf dengan tujuan agar bisa membedakan satu huruf dari huruf yang
lain dan membedakan perkalimat, seperti kalimat Isim, Fi’il, atau
Huruf. Dari sini sudah sangat jelas bahwa Abu al-Aswa>d menjiplak
harakat yang dimiliki oleh bangsa Suryani atau Kaldani.”[7]
Dari ungkapan Zidan di atas sama
sekali tidak bisa dijadikan pijakan dan tidak bisa dibenarkan, karena ia masih
menggunkan perkiraannya sendiri tanpa di dasari oleh dalil pasti. Jika
dikoreksi lagi dari ungkapannya di atas, ia masih ragu-ragu terhadap
ungkapannya sendiri. Dari kata “ Saya berpraduga (يغلب على ظننا), seakan-akan(كأنه) ,
dan pendapat yang unggul(الأرجح) .”
ungkapan dengan menggunakan kata di atas mengindikasikan sebuah keraguan bahkan
menurut perkembangan bahsa Arab, kalimat-kalimat di atas menggambarkan sesuatu
yang tidak nyata atau hanya sebuah praduga tanpa adanya dasar pasti.[8]
Selain ungkapan Zidan di atas, masih
terdapat ungkapan sejarawan lain yang menyatakan harakat karya Abu al-Aswa>d
adalah jiplakan dari harakat Suryani. Hasan ‘Aun yang menyatakan demikian,
dengan menggunakan pemalsuan sejarah ia bisa mengatakan dengan tegas bahwa Abu
al-Aswa>d menggutip harakat dari orang-orang Suryani. Adapun ungkapan Hasan
‘Aun sebagaimana berikut:
“Saya mempunyai dalil yang menyatakan
dengan jelas bahwa Abu al-Aswa>d mengutip gaya harakat yang dimiliki oleh
ulama Nahwu Suryani. Sebagian dari dalil-dalilnya ialah sebagaimana yang telah
kita ketahui Abu al-Aswa>d telah menjadikan kehidupan Negara Iraq sebagai
rumahnya, karena ia menjadi parlemen kenegaraan di sana, di Negara itu juga ia
bisa menguasai bahasa, dan menjadi pembesar tokoh keagamaan. Kita tahu, bahwa
lingkungan di Iraq baik sebelum atau setelah ditaklukkan oleh orang Abar selalu
dijajah oleh bahas dan pengetahuan Suryani, di negri itu pula pribumi selalu
intraksi dengan ulama Suryani. Lebih dari itu, Negara Iraq menjadi markas
pembelajaran dan diskusi orang Suryani bukan hanya sebatas ilmu agama dan filsafat
saja melainkan semua ilmu termasuk ilmu Nahwu dan bahasa. Kita juga mengetahui
bahasa Arab melemah setelah Islam memperlebar kekuasaannya, ini pun juga
terjadi pada bahsa Suryani yang bertepatan pada tahun ke 4 s.d 5 masehi yang
mana pada kedua tahun tersebut telah tersebar bahasa-bahasa asing yang merasuk
pada bahasa komunikasi sehari-hari, penulisan, dan tersebar luas kepiluhan saat
komunikasi. Melihat kondisi sepeti itu, para ulama Suryani mulai merasa takut
kepiluhan itu merampat dapa kitab suci mereka. Dari sinilah mereka mulai
berfikir membuat koredor bacaan untuk mengharakati kitab suci mereka dan tidak
ada korodor bacaan lain selain koredor yang dibuat olah Abu al-Aswa>d saat
memberika harakat pada Alquran. Apakah bukan termasuk penghianatan bila kita
mengatakan Abu al-Aswa>d tidak menjiplak gaya harakat orang-orang Suryani
yang mana mereka lebih dahulu membuat harakat?.”
Hasan ‘Aun bemberikan penjelasan lagi,
namun menjelasan itu tidak bisa dibenarkan dan jauh dari kenyataan. Ia berkata
“Aku mengiran, bahakan menggunggulkan bahwa Abu al-Aswa>d mengetahui bahasa
Suryani minimal dengan kadar bisa memahami bahasa itu, ia pun telah membaca
sebagian naskah-naskah yang tertulis dengan menggunakan bahasa Suryani. Semua
itu disebabkan Abu al-Aswa>d telah lama mukim di daerah Iraq, memusatkan
perhatian pada perkembangan bahasa, dan agama saat tinggal di Iraq. Dari sini
ada kemungkinan lingkungan orang-orang Suryani lebih awal bercampur dengan
orang-orang Arab.”[9]
Mendengar dari perkataan Hasan ‘Aun di
atas para sejarawan mulai melacak kebenaran data yang telah Hasan ‘Aun
sampaikan. Mayoritas sejarawan menolak ungkapan tersebut terlebih pada ungkapan
“Negara Iraq telah dijajah oleh bahasa dan pengetahuan Suryani” dan
pernyataannya “Kemungkinan lingkungan orang-orang Suryani lebih awal bercampur
dengan orang-orang Arab.” Tidak ada satupun dalil yang menunjukkan benenaran
kedua pernyataan di atas dan tidak ada satupun dari sejarawan yang memiliki
gagasan seperti itu.
Jika memang benar ada sebagian dalil yang menunjukkan bahwa agama daerah
H{i>rah telah dikuasai oleh orang Nas}rani, maka terdapat pula dalil yang
menyatakan dan memperkuat bahwa sebelah barat dan uatara Negara Iraq telah
dikuasai oleh mudaya arab, pada saat itu orang arab telah bercampur dengan pribumi
di sana. Bahakan daerah al-Amarah yang terletak di H{i>rah menggunakan bahasa Arab dan
menulis dengan menggunakan bahasa Arab.
Para sejarawan menjelaskan penduduk
arab yang terletak di sebelah barat Furat seperti H{i>rah, ‘Ain
al-Tamr, al-Anba>r, dan lain-lainnya menulis dengan menggunakan bahasa Arab
sebelum orang Arab memasuki kawasan itu. Dari keterangan di atas bisa dipetik
kesimpulan bahwa Negara Iraq tidak pernah dijajah oleh orang-orang Suryani. Dan
jika ada bahasa lain yang menyaingi bahasa Arab di sebelah barat dan utara
Negara Iraq pada permulaan munculnya Islam, maka bahasa itu adalah bahasa
Persia, bukan bahasa Suryani.
Bila diteliti lagi, ternyata daerah
H{i>rah bukanlah sebuah pusat pergerakan orang Nas}rani di arah timur, namun
daerah itu hanya menjadi target pelebaran pergerakan Nas}rani. Selain itu,
sekian banyak pendapat mengenai pembuatan tanda bacaan dalam buku-buku Suryani
tidak mengindikasikan di daerah H{i>rah, akan tetapi berlokasi di pingiran
Asia.[10]
Dari sekian banyak pendapat mengenai
pembuatan tanda baca yang terjadi pada orang-orang Suryani masih terjadi
kontrovirsial, maka hal ini mengindikasikan bahwa Abu al-Aswa>d terlebih
dahulu merumuskan harakat dari pada orang Suryani. Perlu kita ketahui, bangsa
Suryani memiliki dua tanda baca yang Pertama titik-titik kecil
yang terletak di atas, bawah, atau atas dan bawah huruf secara bersamaan, tanda
baca ini berlaku pada kalangan Suryani sebelah timur. Adapun tanda baca Kedua
tanda baca yang diambil dari
abjad huruf Yunani yang terletak di atas atau bawah huruf, model kedua ini
digunakan oleh Suryani sebelah barat.
Namun terdapat hal yang tidak bisa
dipungkiri oleh para sejarawan bahwa pada masa hidupnya Ya’qu>b al-Raha>wi
yang meninggal pada permulaan tahun ke-8 bagsa Suryani tidak pernah sama sekali
menggunakan kedua model tanda baca di atas. Bahkan dalam salah satu kitab yang menjelaskan tentang bahasa
Suryani (Al-Surya>niyah Nahwuha> wa S{arfuha>) karya Zakiyah
Muhammad Rushdi mencatat bahwa konon metode bacaan yang berupa titik-titik
kecil pada huruf bermula pada pertengahan abah ke-8 masehi.[11]
Maka jika dikalkulasi dari meninggalnya Ya’qub al-Raha>wi pada tahun ke-8
masehi (lebih tepatnya tahun 708 M) yang mana pada saat itu tanda baca belum
ditemukan sama dengan tahun ke-90 hijriah.[12]
Dari peng-kalkulasian ini kita sudah bisa membaca tanda baca yang dibuat oleh
Abu al-Aswa>d al-Duali lebih awal daripada orang Suryani, karena Abu
al-Aswa>d meninggal pada tahun 67 hijriah.
Dan dari sini pula, sudah bisa
melemahkan dalil yang digunakan oleh orang-orang yang mengatakan Abu
al-Aswa>d menjiplak harakat dari orang Suryani, sebab bagaimana bisa Abu
al-Aswa>d menjiplak dari mereka sedangkan munculnya harakat dari Suryani
pada peruh kedua adab ke-8 Masehi/tahun 90 Hijriah, padahal Abu al-Aswa>d
sudah meningeal pada tahun ke-67 Hijriha?.
Bukan hanya Abu al-Aswa>d yang
menjadi sasaran keritikan, Khalil bin Ahmad yang dikultuskan sebagai
menyempurna tanda baca Abu al-Aswa>d pun juga mereka klaim sebagai penjiplak
harakat Yunani. Hal ini diungkapkan oleh tokoh yang bernama Ibra>him
Mus}t}afa>. Pertama-tama ia menjelaskan tentang orang pertama pembuat ilmu
Nahwu, kemudia ia menyinggung pembuatan harakat yang dilakukan Khalil bin
Ahmad. Ibra>him berkata “"وَقَالُوْا
: وَقَدْ اْتَخَذَ ذَلِكَ عَنِ الْيُوْنَانِيَةِ, وَكَانَ قَدْ قَرَأَهَا (mereka berkata: sungguh ‘Khalil bin
Ahmad’ telah mengambil itu ‘harakat’ dari bangsa Yunani, dan dia pun
benar-benar telah membaca tulisan Yunani).[13]
Namun, perlu ditanyakan keterangan dari Ibra>him Mus}t}afa> tidak
menjelaskan secara detail siapa saja yang masuk dalam katagori kalimat “Mereka
berkata”? ia juga tidak menjelaskan dari mana Khalil mengetahi bahasa Yunani?,
dan bagaimana Khalil membaca tulisan Yunani?. Ini merupakan sebuah tugas yang
harus dicari serta dijernihkan oleh Ibra>him Mus}t}afa>.
C- Sejarah Peletakan Titik-Titik Pemisah
Huruf Yang Sama (Nuqt}ah al-I’ja>m)
Usai mengkaji sejarah peletakan
harakat yang digagas oleh Abu al-Aswa>d al-Duali dan disempurnakan oleh
Khalil bin Ahmad al-Fara>hi>di, serta menolak ideology para sejarawan
yang mengatakan bahwa gaya peletakan harakat yang digagas oleh Abu al-Aswa>d
hasil adopsi dari Suryani, maka beralih pula pembahasan kita pada peletakan
titik-titik pemisah huruf yang serupa atau bila diarabkan menjadi Nuqt}ah
al-I’ja>m. Melihat pada permulaan Alquran ditulis tanpa menggunakan
harakat dan titik. Namun sebelum kita beranjak dari pembahasa harakat, kita
harus mengetahui bahwa penulisan harakat yang dicetuskan oleh Abu al-Asawa>d
dengan menggunakan warna berdeba dari tulisan lafad Alquran. pada saat itu
tulisan lafad-lafad Alquran menggunakan tinta yang berwana hitam dan harakatnya
menggunakan tinta berwarna kungin emas.
Pembahasan Nuqt}ah al-I’ja>m
ini sangatlah penting menurut pendangan penulis, karena dengan mengetahui
pembahasan ini, wawasan kita akan lebih melebar dan kita bisa mengakui kebenaran
bahwa Alquran adalah produk budaya. Untuk mempersingkat waktu, langsung saja kita
memasuki pada inti pembahasan peletakan titik-titik pemisah huruf yang serupa.
Data yang ditemukan dari para
sejarawan masih amat simpang-siur perihal penggagas pertama Nuqt}ah al-I’ja>m. Namun, sejarawan sepakat bahwa
penyebab peletakan Nuqt}ah al-I’ja>m adalah banyak orang-orang yang
tidak bisa membaca Alquran yang disebabkan tidak bisa memisahkan satu huruf
dari huruf lain, walau pada saat itu sudah ada harakat. Dan yang menjadi
perselisihan para sejarawan ialah siapa orang tokoh yang menerapkan Nuqt}ah
al-I’ja>m pada kalimat-kalimat yang ada dalam Alquran?. Sebagian dari sejarawan
berpendapat bahwa Nuqt}ah al-I’ja>m sudah ada sebelum Islam
terlahirkan, namun orang-orang pada saat itu mengabaikannya, sejarawan lain
perpendapat Abu al-Aswa>d (wafat 67 H) pencetus titik-titik pemisah huruf
yang serupa. Namun, Nuqt}ah al-I’ja>m ini tidak tersebar luas kesemua
umat Islam hingga tiba saat kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan (tahun
kekuasaan 65-86). Pada saat inilah Nuqt}ah al-I’ja>m tersebar luas
dan menjadi sebuah kebutuhan pokok umat Islam dalam mempelajari Alquran,
melihat semakin melebarnya kekuasaan Islam dan bertambah pesatnya percampuran
orang Arab dan non Arab.
Maka untuk menanggulangi problem
kesulitan dalam membaca Alquran Abdul Malik bin Marwan memerintah al-Hajjaj
yang berposisi sebagai wali kota Iraq (tahun kekuasaan 75-86) untuk mencari
solusi agar orang-orang Islam tidak kesulitan dan salah saat membaca
kalimat-kalimat yang masih samar. Hingga akhirnya al-Hajjaj pun pemilih dua
tokoh terkemuka Islam pada saat itu yang bernama Nas}r bin‘A<s}im al-Laithi
(wafat 90 H) dan Yahya bin Ya’mar (wafat 90 H). Kedua tokoh di atas tersohor
dengan kewaraan, kesalehan, menguasai bahasa Arab, dan keduanya termasuk murid
Abu al-Aswa>d.[14]
Bermula dari sinilah Nuqt}ah al-I’ja>m tersebar luasa pada semua
kalang umat Islam di dunia.
D- Pembagian Ayat-Ayat Alquran
Dengan bergesernya waktu Alquran turut
mengalami perkembangan. Perkembangan yang ada dalam Alquran tiada lain hanya
untuk mempermudah orang Islam dalam membaca, memahami, dan menghafalnya.
Sebagimana yang telah pemakalah singgung di atas, pada awalnya Alquran
tertuliskan pada batu, pelapa kurma, tulang belulang, dan lain-lain yang masih
berserakan, tidak rapi, dan belum terkodifikasi, kemudia mengalami perkembangan
saat masa Abu Bakar yang mana ia sukses membukukan ayat-ayat Alquran dalam satu
mus}h}af, namun pada saat itu banyak sahabat lain yang memiliki mus}h}af
pribadi. Bergeser pada masa kepemerintahan Uthman bin Affan, ia berusaha untuk
menyatukan semua umat Islam dalam bacaan agar tidak terjadi perbedaan yang
mengakibatkan terpecahnya umat Islam sebab perbedaan bacaan sebagaimana
uamat-umat nabi terdahulu. Seling beberapa tahun, Mu’a>wiyah bin Abi
Sofya>n menjabat sebagai khalifah pertama dari dinasti Bani Umayyah, pada
saat itu Alquran mengalami perkembangan dengan memberikan tada abaca yang
berupa titik-titik (karakat).Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Alquran
delengkapi dengan tanda pemisah huruf yang sama seperti ب, ت, ث, ن, ف, ق,
dan lain-lain.
Kemudian, Alquran mengalami perkembangan
dengan membagian ayat-ayat Alquran dengan cara memberikan nomer ayat dan
membagi juz. Tujuan mereka memunculkan ideology seperti ini agar umat Islam
bisa lebih semangat dalam membaca dan menghafal Alquran terlebih pada saat
datangnya bulan suci Ramadan. Dengan adanya tujuan agung dan mulia ini sebagian
ulama mulai perfikir untuk membagi ayat-ayat Alquran menjadi 30 bagian,
setiap bagian diberi nama juz. Dalam juz terdapat terdapat 8 Rubu’.
Di sisi lain, terdapat pula sebagian
ulama yang membuat tanda-tanda waqaf dan was}al, yang bertujuan
agar lebih mudah dalam memahami ayat-ayat Alquran dan tadabur akan
arti-artinya. Ada juga ulama yang membuat tanda-tanda ayat yang disunahkan
untuk sujud tilawah yang mana di atasnya tertulis tanda yang meindikasikan akan
kesunahan sujud tilawah.
Namun para sejarawan masih berbeda
pendapat mengenai penggagas pertama dalam pembuat pemisah satu ayat dari ayat
lain. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa penggagas semuanya itu
berdasarkan instruksi dari khalifah al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah (masa
jabatan 198-218). Sejarawan lain mencata semua itu merupakan insteruksi dari
al-Hajjaj bin Yusuf al-Thaqafi (masa jabatan 75-86). Dan ada pula yang
mengatakan semuanya adalah ijtihad dari para ulama sendiri tanpa ada yang
memerintah.[15]
E- Kali Pertama Alquran dicetak
Pada masa yang kita injak sekarang
sangatlah mudah untuk memperoleh Alquran, semua itu berkah adanya percetakan.
Bila kita kembali pada masa sebelum adanya percetakan untuk medapatkan tulisan
Alquran teramat sulit, meninjau Alquran bisa diperoleh dengan tulisan tangan
yang membutuhkan waktu sangat lama. Sebuah pertanyaan muncul di benak pemakalah “di manakah kali pertama Alquran
dicetak?” Pertanyaan inilah yang akan kita kaji bersama pada pembahasan kali
ini.
Para sejarawan sepakat, kali pertama
Alquran dicetak disebuah percetakan yang ada di Negara Jerman pada tahun 1106
H/1693M di sebuah kota yang bernama Hamburgh. Yang dicetak oleh Abraham
Hinckelman.[16] Cetakan
pertama Alquran hingga saat ini masih ada dan bisa ditemukan disebuh percetakan
yang bernama Da>r al-Kutub di EGYPT dan di perpustakaan Cairo University.[17]
Selang beberapa lama,
percetakan masuk ke dunia Islam seperti Negara Turki, Mesir, India, dan Negara Islam lainnya. Dan mulai
saat itulah orang Islam bisa mencetak Alquran sendiri.
Mesir terkenal sebagai Negara pencetak Alquran mulai
permulaan abad ke-14 Hijriah yang diusung oleh tokoh bernama Rid}wan Ibnu Muhammad
pada tahun 1308H/1890M. Dalam penulisan al-Qur’an ini menggunakan gaya tulis
mus}h}af Uthmani, gaya harakat Khalil bin Ahmad, dan gaya titik Nas}r
bin‘A<s}im al-Laithi (wafat 90 H) dan Yahya bin Ya’mar (wafat 90 H). Pada
tahun 1337 Hijriah perkumpulan ulama al-Azhar, Kairo, Mesir mengusulkan untuk
mencetak ulang Alquran dengan menggunakan riwayat H{afs} bin Sulaiman. Usulan
ini sukses dan mus{h{a{f dicetak pada tahun 1342H/1923M yang ditulis oleh
Muhammad Ali al-Husaini.[18] Alquran dengan
tulisan inilah yang tersebar pada kalangan umat Islam sampai saat ini.
[1] Dikutip dari, Gha>nim
Qaddawari al-Hamad, Rasm al-Mus}h}af Dira>sah Lufhawi>yah
Ta>rikhi>yah, (Baghdad: al-Lajnah al-Wat}aniyah li al-Ih}tifa>l bi
Mat}la’ al-Qurn al-Khamis ‘Ashar al-Hijri, 1982M/1402H), 491.
[2] Burhanuddin Abi Hasan
Ibrahim bin Umar al-Baqa>I, Nadhm al-Durar fi Tana>sub al-Aya>t wa
al-Suwar, (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415H/1995M),
3/269.
[3] Uthman bin Sa’id
al-Dani, Al-Muh}kam fi Nuqt}ah al-Mas}a>hif, (Damskus: Da>r
al-Fikr, 1407 H), 77.
[4] Sh’aba>n Muhammad
Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu, (Kairo: Da>r al-Sala>m,
1997 M), 89.
[5] Sulaima>n bin
Ibra>him al-‘A<yid, “‘Ina>yah al-Muslimi>n bi al-Lughah
al-‘Arabiyah Khidmah li al-Qur’a>n al-Kari>m”, dalam http://www.al-islam.com 77.
[6] Jurji Zidan, Ta>rikh
A<dab al-Lughah al-‘Arabiyah, (Da>r al-Hilal, 1957 M), 1/251-252.
[7] Ibid., 253.
[8] Ali Abdul Wa>h}id
Wa>fi, fiq al-Lughah, (Lajnah al-Baya>n al-‘Arabi, 1950), 248-249.
[9] Hasan ‘Aun, Al-Lughah
wa al-Nahwu, (Iskandaria: Mat}ba’ah Royal, 1952), 251.
[10] Jurji Zidan, Ta>rikh
A<dab al-Lughah al-‘Arabiyah…, 1/251.
[11] Zakiyah Muhammad
Rushdi, Al-Surya>niyah Nahwuha> wa S{arfuha>, (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, ),
32.
[12] Ibid., 31.
[13] Lihat, Fath}I Abdul
Fatta>h} al-Dujani, “Abu al-Aswa>d al-Du’ali wa Nashah al-Nahwu
al-‘Arabi” (Tesis—Cairo University , Kairo, 1969), 48.
[14] Muhammad Muhammad Abu
Shahbah, Madkhal li Dira>sah al-Qur’a>n al-Kari>m, (Riya>d}:
Da>r al-Liwa’, 1987M), 189.
[15]
Sha’ba>n Muhammad Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu, (Kairo:
Da>r al-Sala>m, 1997 M), 91.
[16] Sh’aba>n Muhammad
Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu…, 602.
[17] ‘Abdul ‘Adzim
al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n,
(Bairut: Da>r al-Kutub al-Arabi, 1995M/1415H), 1/403.
[18] Sha’ba>n Muhammad
Isma>il, Rasm al-Mus}h}af wa D{abt}uhu.., 92.
Comments
Post a Comment