AL-QURAN MEMERINTAHKAN UNTUK BERFILSAFAT

A.  Pendahuluan
Ilmu filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang menjadi perselisihan akan boleh dan tidaknya untuk dipelajari. Sebagian dari intelektual muslim melarang bahkan memberikan hukum haram mempelajari ilmu filsafat dan sebagian intelektual lain memperbolehkan bahkan terkadang bisa menjadi sebuah kewajiban untuk mempelajari ilmu filsafat. Dasar atau pijakan dalam pembelajaran ilmu filsafat inilah yang menjadi penyebab adanya perselisihan pendapat antara intelektuan muslim baik klasik maupun kontemporer.
Bila dilihat dari dasar ilmu filsafat adalah logika atau akal. Mendewakan akal dan menafikan nas} menjadi karaktristik filosof menurut intelek yang melarang belajar ilmu filsafat. Akal manusia sangat terbatas dalam menjangkau sesuatu terlebih ketika pembahasannya masalah hal yang ghaib atau ketuhanan. Oleh karena itu akal tidak cukup dalam mencari hakikat arti kehidupan di dunia ini terlebih dalam urusan akhirat. Lebih dari itu, terkadang intelek yang mendewakan akalnya sampai berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan mengkokoh dari sesuatu yang digagas oleh akal dan jika terdapat perbedaan antara akal dengan al-Qur’an, maka yang lebih diutamakan adalah akal.[1] Beda halnya dengan ajaran agama Islam yang selalu diperintahkan untuk berpegang pada al-Qur’an dan akal hanya menjadi penguat al-Qur’an. Jika terjadi perbedaan antara al-Qur’an dan akal, maka yang lebih diunggulkan adalah al-Qur’an.
Permasalah inilah yang menjadi penyebab kontradiksi akan boleh dan tidaknya berfilsafat. Namun, di tengah-tengah perbedaan boleh dan tidaknya berfilsafat banyak juga intelek yang berusaha untuk menengahi konflik yang sedang terjadi. Usaha untuk menengah-nengahi perbedaan pendapat tersebut diambil dari akal maupun dari dasar al-Qur’an dan hadis.
Salah satu dari intelek yang berusaha menengah-nengahi akan boleh dan tidaknya berfilsafat adalah Yusuf Musa. Dalam karyanya yang berjudul al-Qur’an wa al-Falsafah, ia berusaha mengungkap bahwa sesungguhnya al-Qur’an sendiri mengajak manusia untuk berfikir secara filsafat.[2] Namun, walau demikian tidak semua orang yang diperbolehkan untuk berfilsafat terutama dalam permasalah yang ada dalam al-Qur’an. Hal ini juga dinyatakan oleh Yusuf Musa. Pada pertemuan kali ini, pemakalah akan mengungkap pendapat Yusuf Musa mengenai filsafat terutama dalam fasal kedua yang menjelaskan bahwa tabi’at al-Qur’an mengajak manusia untuk berfiki secara filsafat.
B.   Pembahasan
1.      Al-Qur’an dan Filsafat
Al-Qur’an bukan sekedar kitab yang berbahasa Arab dan diterjemahkan begitu saja, akan tetapi al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang diturunkan Allah kepada umat Muhammad yang mengandung banyak arti. Semakin al-Qur’an diperdalam, maka semakin luas pula arti yang ditemukan dari ayat-ayatnya. Oleh karena itu, tidak heran bila para mufassir selalu menemukan hal baru dari penafisirannya dan banyak terjadi perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lainnya.
Tanpa disadari oleh banyak kalangan, ternyata al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang selalu mengajak pembacanya untuk berfilsafat dalam segala aspek kehidupan baik di dunia maupun di akhirat. Sebegaimana yang telah diketahui bahwa karaktristik filosof ialah, 1) berfikir secara radikal, 2) universal dan 3) rasional.[3] Tiga krangka berfiki ala filosof ini merupakan sesuatu yang dianjurkan bahkan diperintahkan dalam memahami agama Islam khususnya dalam ayat-ayat al-Qur’an.[4]
Allah menciptakan manusia dengan cara yang sangat sempurna. Salah satu dari pemberian Allah yang menyebabkan manusia masuk dalam katagori sempurna ialah pemberian akal. Allah melengkapi manusia dengan adanya akal, agar supaya manusia bisa berfikir serta merenungi sesuatu yang ada disekelilingnya baik itu berupa kerajaan bumi maupun langit. Selain perinah untuk merenungi sekelilingnya, manusia juga diperintahkan untuk membaca serta mengkaji kitab suci yang tertulis di antara dua sampul yaitu al-Qur’an. Berfikir mengenai ayat-ayat kauniyah dan kemanusiaan sebagaimana yang telah diperintahkan dalam al-Qur’an bisa mengantarkan manusia untuk berfikir terhadap kekuatan yang Maha Absolut yang telah mengatur segalanya tanpa adanya berbedaan dan perubahan.[5]
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa al-Qur’an merupakan mu’jizat yang diturunkan Allah pada Nabi Muhammad yang mana mu’jizat itu berupa mu’jizat ke-logia-an.[6] Mu’jizat kelogiaan inilah yang menjadi pembedan antara mu’jizat nabi-nabi terdahulu. Jika mu’jizat nabi terdahulu hancur dan musnah bersamaan dengan tutupnya usia nabi yang diutus, namun al-Qur’an tetap kelak, sebab al-Qur’an menjadi lawan bicara logika pembacanya. Oleh karana itu, al-Qur’an selalu menuntut untuk direnungi dan pikiran baik dalam masalah ayat-ayat kauniyah ataupun lainnya.
Ketika al-Qur’an merupakan sebuah mu’jizat yang sebangsa ke-logika-an, maka tidak ada jalan lain untuk memahami isi dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri kecuali dengan menggunakan akal manusia. Lebih lanjut, al-Qur’an tidak diturunkan oleh Allah hanya untuk sekedar dibaca tanpa ada difahami atau mengulagi bacaan ayatnya tanpa kesadara pada arti ayat yang diulangi. Demikian al-Qur’an tidak diturunkan hanya sekedar untuk dibacakan pada orang mati dan diletakkan dalam rumah atau mobil agar bisa mendapatkan kebarakahan dari al-Qur’an tersebut. Semua itu bukanlah tujuan maksud dari pewahyuan al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an merupakan kitab untuk kehidupan baik untuk jiwa, raga, maupun lainnya.[7]
Mah}mu>d H{amdi Zaqzu>q juga menjelaskan bahwa terjadi perbedaan dalam mendifinisikan filsafat itu sendiri. Di antaranya ada yang mendefinisikan dengan sangat lengkap di antaranya lagi dengan difinisi yang singkat. Kendati demikian semuanya kembali pada tiga pembahasan pokok filsafat yaitu: 1) ketuhanan 2) alam semesta dan 3) manusia. Selama manusia hidup di dunia, maka manusia harus mengetahui posisi kehidupan yang ada, hubungannya dengan alam semesta, dengan siapa dan apa, serta hubungannya dengan sang pencipta.[8]
Al-Qur’an telah memerintahkan semua orang untuk berfikir, merenungkan, dan meneliti dalam kehidupan di alam semesta ini serta mendorong akal manusia untuk melaksanakan perintah atas terciptanya akal itu sendiri yaitu berupa berfikir. Oleh karena itu menjaga akal (H{ifz} al-‘Aql) termasuk salah satu dari Maqa>s}d al-Khamsah. Manusia tidak bisa dinamakan manusia bila ia tidak berfikir bahkan manusia yang tidak berfikir sama halnya dengan hewan bahkan lebih rendah dari hewan.[9] Oleh karena itu al-Qur’an sering kali melontarkan teguran bagi orang-orang yang tidak mau berfikir atau tidak mau mengfungsika akalnya. Hal ini tergambar dari firman Allah (Q.S. al-A’raf: 179)
لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”[10]

Dari ayat di atas mengindikasikan bahwa orang yang tidak menggunakan pemberian Allah baik itu berupa hati, mata, atau telinga untuk berfikir dan merenungi sesuatu yang ada disekelilingnya yang bisa mengantarkan dirinya menuju pada kebenara Tuhan yang Maha Esa, maka ia tidak lebih baik daripada hewan. Penggambaran hewan pada manusia yang tidak mau berfikir ini merupakan sebuah terguran atau bahkan hinaan dari Allah terhadap mereka yang lalai akan kewajiban memanfaatkan fasilita Allah.[11]
2.      Al-Qur’an Memerintah untuk Berfilsafat
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab bacaan dan azimat, melainkan al-Qur’an merukan kitab yang harus dipelajari, difahami maksudnya, dipikirkan artinya, dan renungi maksudnya. Selain ditinjau dari munculnya wahyu, dalam al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang memerintahkan untuk berfikir dan mendalami segala seuatu yang ada sehingga bisa mengantarkan diri pemikir untuk menuju kepada Tuhan alam semesta serta ayat al-Qur’an memberikan teguran bagi orang yang tidak mau berfikir terdapat al-Qur’an maupun sesuatu yang ada di sekelilingnya. Lebih dari itu, Ibn Rushd menjelaskan bahwa wajib untuk memahami syarit[12] dengan menggunakan pendekatan filsafat sebagaimana wajibnya menggunakan dasar mantik untuk mengetahui Allah dan keberadaan-Nya.[13]
Penjelasan di bawah ini merupakan sebagian dari ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan mengikuti pola pikir filosof.
a.       Perintah untuk berfikir, merenungi, dan mendalami
1)      Surat al-H{ashr ayat 2
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”[14]
Ibn Rushd menjelaskan bahwa maksud dari ayat di atas tiada lain keculai untuk mengambil hikmah dari sesuatu yang majhul dari sesuatu yang maklum. Demikian ini merupakan qiyas versi filosof. Oleh karena itu wajib bagi pemikir untuk merenugi sesuatu yang ada di alam semesta ini dengan menggunakan qiyas.[15]
2)      Surat Yunus ayat 101
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".”[16]

Pada ayat ini menggunakan kata amr (perintah) untuk merenungi segala yang ada baik di bagian atas maupun bawah. Oleh karena itu, hikmah yang bisa diambil dari ayat ini ialah perintah Tuhan pada manusia untuk berfikir terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Dengan berfikir terhadap hal tersebut, maka akan menemukan kebenaran adanya Tuhan Pencipta yang Maha Esa.
Ibn Kathi>r menjelaskan dalam kitab tafsirnya, Allah menganjurkan hamba-Nya untuk berfikir terhadap segala yang ada dari ciptaan-Nya baik itu berupa penciptaan langit, bumi, planet-planet, matahari dan bulan, siang dan malam, dan lainnya. Dengan memikirkan hal itu, maka ia akan mengakui tiada tuhan selain Allah.[17]
3)      Surat Ali ‘Imra>n ayat 190
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”[18]
Ayat di atas merupakan hikmah dibalik perenungan terhadap penciptaan langit, bumi, sinag, dan malam. Hikmah merenungi dan berfikir secara mendalam terhadap semua ciptaan Allah sebagaimana yang tertulis akan menjadi pengantara bagi orang-orang yang memiliki akal sehat dalam penemukan ketuhanan Allah.
Dari tiga ayat yang telah disebutkan di atas sengat jelas menunjukkan sebuah perintah untuk berfikir secara mendalam dalam permasalahan atau alam yang mengitarinya. Bukan hanya sekedar melihat tanpa difikirkan, sebab al-Qur’an memerintahkan untuk berfikir secara kritas. Dengan berfikir secara kritas terhadap alam dan diri manusia sendiri akan menjadi pengantar dalam penemuan siapa pencipta semua yang ada.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penelitian dan pemikir yang muncul dari diri sendiri akan lebih menyakinkan daripada hanya mengikuti perkataan yang ada atau hanya taklid pada para petua.
b.      Hinaan bagi orang yang tidak berfikir
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa dasar utama filsafat adalah logika. Logika sengat berperang penting dalam menyelesaikan permasalahan atau persoalan yang hendak diselesaikan. Berpegang pada logika sebagaimana yang telah dijadikan dasar dalam berfilsaf ini tidak disalahkan oleh teks suci terutama dalam permasalahan alam atau kemanusiaan, sebab ayat-ayat al-Qur’an dalam permasalahan ini masih bersifat global saja dan masih tetap mebutuhkan perincian dari logika para pembaca teks.[19] Di bawah ini merupakan sebagian dari keterang akan hinaan terhadap orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya dalam berfikir.
1)      Surat al-Ru>m ayat 8
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ ۗ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.”[20]

Ayat di atas turun untuk menjadi teguran bagi orang-orang yang tidak mau penggunakan logikanya untuk berfikir khususnya untuk orang-orang yang tidak berfikir dalam masalah ketuhanan dan datangnya hari akhir. Meski ayat ini bertujuan untuk menegur orang yang tidak yakin terhadap datangnya hari akhir, namun ayat ini secara umum bisa dijadikan sebuah dasar untuk selalu berfikir dan memanfaatkan logikan menemukan sebuah kebenaran dengan cara berfikir radikal.
2)      Surat al-Dha>riya>t 21
وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”[21]
Hinaan terhadap orang-orang yang tidak berfikir terhadap sesuatu yang ada pada dirinya padahal diri sendiri merupakan perantara terdekat untuk difahami. Untuk memahami terhadap kekuasaan Allah yang ada pada diri manusia pastinya tidak akan bisa jika hanya difahami tanpa menggunakan logika yang mendalam dan setelah melalui proses penelitian.
3)      Surat al-A’ra>f ayat 185
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَىٰ أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ ۖ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”[22]

Dari ayat di atas jelas menunjukkan teguran bagi orang-orang yang tidak berfikir. Hamzah yang tertera dalam ayat memiliki arti sebuah pertanyaan yang bersifat untuk menghina orang-orang yang tidak mau berfikir atas segala yang ada baik itu berupa kerajaan di bumi maupun di langit.[23] Al-Zamakhshari> menjelaskan mengenai ayat di asat bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berfikir dan mengambil sebuah kesimpulan dari apa yang ada di bumi dan laingit agar supanya bisa mengantarakan manusia itu sendiri dalam merenungkan keagungan Tuhan yang menciptakannya.[24]
Dari semua ayat atas hinaan terhadap orang yang berfikir ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya Allah benar-benar berharap dan mengharapkan semua manusia untuk berfikir agar supaya bisa menemukan hakikat kehidupan yang lebih baik dan bisa menemukan Tuhan yang harus disembah. Pola fikir semua itu tidak akan bisa menyampaikan pada sesuatu yang diharapkan apabila hanya dengan menggunakan kerangka berfikir biasa. Jalan yang bisa mengantarkan berfikir yang bisa sampai pada tujuannya dengan menggunakan kaidah dan batasan ialah dengan menggunakan pola pikir ala filosof.
Sebagaimana yang telah diketahui saat membaca dan mengkaji buku-buku teologi, terdapat dua dasar yang tidak akan pernah terlepaskan dalam menemukan sebuah kebenaran dari argumen yang telah ditetapkan. Penetapan atas dasar wahyu dan penetapan atas dasar logika. Penetapan atas dasar logika yang digunakan oleh para Mutakalimin tidak lain adalah krangka berfikir yang telah diusung oleh para filosof. Oleh karena itu, tidak berlebihan dan tidak salah bila al-Qur’an memerintahkan semua manusia untuk berfikir ala filosof.
3.      Konsep Berfikir ala Filsafat dalam al-Qur’an
Ketika dikaji lebih mendalam dalam permasalah konesp berfikir ala filsafat dalam al-Qur’an, ternyata tidak ada berbedaan sedikitpun dengan konsep berfikir ala filosof klasik maupun kontemporer.[25] Hal ini bisa dibuktikan dari beberapa ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk selalu berfikir dengan cara radikal, universal, dan rasional. Di bawah ini merupakan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk berfikir ala filosof dalam pandangan al-Qur’an:
a.       Al-Qur’an memerintahkan untuk berfikir radikal dan logis
Al-Qur’an memberikan teguran pada orang yang hanya mengikuti pendapat orang lain atau mengikuti pendapat yang telah menjadi tradisi nenek moyang tanpa adanya berfikir ulang akan benar dan tidaknya pendapat tersebut. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 170:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".”[26]

Memikirkan sesuatu hingga mendapatkan sebuah kebenaran tidaklah cukup bila hanya berfikir dengan pemikiran yang dangkal. Untuk menemukan sebuah keberan serta menggapai sebuah keyakinan dibutuhkan adanya pemikiran yang radikal. Berfikir dengan radikal merupakan sebuah perintah dari Allah pada semua manusia, sebab berfikir dengan radikal ini bisa mengantarkan seseorang untuk menemukan sebuah keyakinan yang disertai oleh tendensi yang valid.
Yusuf Musa menjelaskan, penjelasan dalam al-Qur’an tidak luput dari peringatan pada orang-orang yang hanya taklid terhadap perkataan yang ia dengarkan dari peninggalan nenek moyang (les traditions). Taklid ini sangat membahayakan serta bisa merusak pada pemikiran dan pemberian hukum atas peroblematika yang ada. Oleh karena itu, al-Qur’an sangat mencegah adanya taklid pada nenek moyang dari pemikiran dan pendapatnya, sehingga bisa mencegah logikanya untuk berfikir terhadap sebuah kebenaran dan pelacakan yang mendalam untuk mendapatkan sesuatu yang benar.[27]
b.      Ayat al-Qur’an memerintahkan untuk berfikir secara universal
Tidak ada satupun penjelasan yang luput dari al-Qur’an meski hanya melalui penjelasan yang global. Pembahasan mengenai alam, manusia, sejarah, dan ketuhanan menjedi pembahasan yang sering disinggung dalam al-Qur’an. Perintah berfikir mengenai semua itu menjadi anjuran utama al-Qur’an agar bisa menemukan siapa pencipta alam jagat raya. Anjuran berfikir dalam al-Qur’an bukan hanya sekedar berfir dengan pola pikir yang dangkal, melainkan manusia dipeintahkan untuk berfikir secara universal.
 Yusuf Musa menjelaskan bahwa berfikir secara universal merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam al-Qur’an dengan menggunakan dasar ayat-ayat kauniyah yang secara global disinggung dalam al-Qur’an. Penjelasan secara global ini merupakan sebuah perintah dari Allah untuk merenungi dan memikirkannya.[28] Yusuf Musa mencantumkan beberapa ayat yang harus difikirkan secara universal salah satunya ialah surat al-Baqarah ayat 164:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”[29]

Pembahasan dari ayat di atas ialah proses penciptaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang terjadi pada keduanya. Untuk menemukan sebuah kebenaran dari ayat di atas butuh adanya pemikiran yang universal serta dibuktikan dengan adanya teklonogi modern untuk memperkuat kebenarannya. Berfikir mengenai hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, melainkan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sadar bahwa segala sesuatu tidak muncul dengan tiba-tiba. Oleh karena itu pada akhir ayat ditutup dengan ungkapan teguran atas orang yang tidak sadar bahwa dirinya telah diberikan akal untuk berfikir.
C.   Penutup
Al-Qur’an bukan sekedar kitab suci yang diturankan Allah pada Muhammad untuk dibaca, melainkan al-Quran merupakan kitab suci yang harus difahami isi dan kandungannya agar supanya bisa menjadi media pendekatan diri pada Sang Pencipta. Berfikir mengenai alam, manusia, dan Tuhan merupakan pembahasan yang selalu dibahas dalam ilmu filsafat, tiga pembahasan ini juga merupakan anjuran untuk dibahas dan difahami oleh kitab suci al-Qur’an. Untuk memahami segala yang ada dalam al-Qur’an membutuhkan pola pikir darikal, universal, dan rasional. Tiga pola mikir ini menjadi ciri khas dari berfikir ala filolofos. Dari sini bisa disimpulkan bahwa al-Qur’an menganjurkan untuk berfikir ala filolos.
Ayat-ayat al-Qur’an selalu menganjurkan semua orang untuk berfilsafat dan melarang mengikuti pendapat nenek moyang tanpa adanya pemikiran ulang akan benar dan tidaknya. Oleh karena itu, al-Qur’an mengibaratkan orang yang tidak menggunakan fasilitas dari Allah seperti mata, hati, telinga, dan lain-lain dengan hewan atau bahkan lebih buruk daripada hewan.








Referensi
Abu al-Fida>’Ismail bin Umar bin Kathir al-Qurshi al-Sha>fi’i>. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Da>r T{ayyibah li al-Nashr wa al-Tauzi>’. 1999.
Abu> al-Wali>d bin Rushd. Fas}l al-Maqa>l fi>ma> bain al-H{ikmah wa al-Shari’ah min al-Ittis}a>l. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969.
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n. Kairo: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n. 1422.
‘Abd al-H{ami>d ‘Ali ‘Izz al-‘Arab. Taqri>b al-Iqtis}a>d fi> al-‘I’tiqa>d li al-Ima>m abi> H{a>mid al-Ghaza>li>. Kairo: Ja>mi’at al-Azhar. 1432.
Departemen Agama RI. Al-Qur’a>n dan Terjemahnya. Bandung: CV Diponegoro. 2008.
Mus{t}afa> ‘Abd al-Ra>ziq, Tamhi>d li Ta>ri>kh al-Falsafat al-Isla>miyah. Kairo: Maktabah al-Usrah. 2007.
Mahmu>d H{amdi> Zaqzu>q. al-Di>n li al-H{ayat. Kairo: Maktabah al-Usrah. 2010.
____________________. al-Di>n wa al-Falsafat wa al-Tanwi>r. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. t,t.
Mah}mu>d bin ‘Amr al-Zamakhshari>, al-Kashsha>f ‘an H{aqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l. Bairu>t: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>. t,t.
Qa>sim H{umaida>n. I’ira>b al-Qur’a>n al-Kari>m. Damaskus: Da>r al-Fa>ra>bi>. 1425.
Stefanus Supriyanto. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2013.
Yusuf Musa. Bain al-Di>n wa al-Falsafah fi> Ra’y> Ibn Rushd wa Fala>sifah al-‘Ashr al-Wasi>t}. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. 2003.
__________. al-Qur’an wa al-Falsafah. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. 1378.




[1] Ungkapan di atas merupakan pendapat dari sebagian golongan Mu’tazilah. Penjelasan ini bisa dilihat dalam karya ‘Abd al-H{ami>d ‘Ali ‘Izz al-‘Arab, Taqri>b al-Iqtis}a>d fi> al-‘I’tiqa>d li al-Ima>m abi> H{a>mid al-Ghaza>li>, (Kairo: Ja>mi’at al-Azhar, 1432), 65. Dalam buku ini menjelaskan tentang metode pengambilan dalil dari golong Islam seperti al-Ash’ari, al-Ma>turidi>, dan Mu’tazilah.
[2] Kitab karya Yusuf Musa ini terdiri dari 4 fasal. Pada fasal kedua ia menjelaskan bahwa sesungguhnya al-Qur’an pada hakikatnya mengajak atau mengajari manusia untuk berfikir secara filsafat. lihat, Yusuf Musa, al-Qur’an wa al-Falsafah, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1378), 181.
[3] Mus{t}afa> ‘Abd al-Ra>ziq, Tamhi>d li Ta>ri>kh al-Falsafat al-Isla>miyah, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2007), 134. Keterangan atas pola pikir filosof ini biasanya digunakan dengan bahasa Indonesia dengan istilah berfikir ala filosof. Lihat, Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2013), 35.
[4] Lihat, Yusuf Musa, al-Qur’an wa al-Falsafah, 52-64.
[5] Mahmu>d H{amdi> Zaqzu>q, al-Di>n li al-H{ayat, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2010), 37.
[6] Mu’jizat ke-logika-an di sini ialah merupakan sebuah mu’jizat yang menuntut pembacanya untuk berfikir dan merenungi sesuatu yang ada di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang baca membicarakan sesuatu yang belum pernah dibahas, sedang dibahas, dan akan dibahas oleh manusia. Sebagai contoh dalam permasalah matahari dan bumi, pada masa lampau hal ini belum pernah dibahas dengan cara mendalam oleh para ulama atau walaupun dibahas namun tidak bisa dibutkikan dengan keilmuan yang bisa lebih memperkuatnya. Dengan bergesernya waktu dan perkembangan teknologi pembahasan dalam al-Qur’an mulai bisa dibutikan dengan kenyataan yang ada bukan hanya sekedar praduga. Mu’jizat ke-logika-an ini tidak dimiliki oleh mu’jizat nabi-nabi terdahulu. Mayoritas nabi-nabi terdahulu mu’jizatnya adalah kesaktian dan kehebatan sihir. Oleh karena itu, mu’jizat nabi-nabi terdahulu menjadi musna bersamaan dengan tutup usianya nabi yang diutus.
[7] Mahmu>d H{amdi, al-Di>n li al-H{ayat, 38.
[8] Mah}mu>d H{amdi Zaqzu>q, al-Di>n wa al-Falsafat wa al-Tanwi>r, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, t,t), 21-22.
[9] Ibid, 23.
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Bandung: CV Diponegoro, 2008), 174.
[11] Al-T{abari> menafsirkan ayat di atas dengan orang-orang yang tidak mau memanfaatkan pemberian Allah baik hati, mata, dan telinga untuk berfikir dan merenugi atas keberaan Allah yang Maha Esa dan Pencipta segala sesuatu, maka ia sema halnya dengan hewan yang tidak bisa membedakan sesuatu yang ada disekelilingnya dan tidak memiliki pilihan untuk menuju yang lebih baik. Lebih lanjut lagi, al-T{abari> menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan acaman bagi orang yang tidak berfikir, merenugi, dan mengambil hikmah dari sekelilingnya untuk masuk kedalam neraka Jahannam. Lihat, Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r Hijr li al-T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’ wa al-I’la>n, 1422), 13/281.
[12] Yang dimaksud dengan kata syarit oleh Ibn Rushd ialah al-Qur’an dan al-H{adith.
[13] Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Di>n wa al-Falsafah fi> Ra’y> Ibn Rushd wa Fala>sifah al-‘Ashr al-Wasi>t}, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 2003), 91.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 545.
[15] Abu> al-Wali>d bin Rushd, Fas}l al-Maqa>l fi>ma> bain al-H{ikmah wa al-Shari’ah min al-Ittis}a>l, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 23. Yusuf Musa memberikan komentar terhadap penafsiran potongan ayat yang dikutip oleh Ibn Rushd di atas. Ia menyatakan bahwa penafsiran tersebut lepas dari maksud dan kehendak arti ayat yang ada. Kendati Yusuf Musa memberikan kritikan terhadap penafsiran yang digunakan oleh Ibn Rushd, ia memberikan contoh ayat lain yang lebih pas dalam masalah perintah untuk berfikir yaitu surat Yunus ayat 101. Lihat,  Yusuf Musa, Bain al-Di>n wa al-Falsafah, 91.
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 220.
[17] Abu al-Fida>’Ismail bin Umar bin Kathir al-Qurshi al-Sha>fi’i>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Da>r T{ayyibah li al-Nashr wa al-Tauzi>’, 1999), 4/229.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 75.
[19] Yusuf Musa, al-Qur’an wa al-Falsafah, 54.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 405.
[21] Ibid, 521.
[22] Ibid, 174.
[23] Qa>sim H{umaida>n, I’ira>b al-Qur’a>n al-Kari>m, (Damaskus: Da>r al-Fa>ra>bi>, 1425), 1/410.
[24] Mah}mu>d bin ‘Amr al-Zamakhshari>, al-Kashsha>f ‘an H{aqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, (Bairu>t: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t,t), 2/171.
[25] Maksud dari penulis di atas ialah krangka berfikir antara filosof tidak berbeda sedikitpun dengan krangka berfikir yang telah diperintahkan oleh Allah melalui firman-Nya.
[26] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 26.
[27] Yusuf Musa, al-Qur’an wa al-Falsafah, 60.
[28] Ibid, 56.
[29] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 25.

Comments

Post a Comment