Pengembangan Metodologi Penelitian Agama
1.
Pengembangan
Metodologi Penelitian Agama
Mendalami
ilmu agama tidak cukup hanya mempelajari dasar-dasar ilmu agama saja, melainkan
butuh metodologi baru untuk memperdalam wawasan demi tercapainya maksud syariah
yang bisa relevan pada setiap ruang dan waktu. Mungkin selama ini yang menjadi
celah melemahnya pendidikan dalam Islam ialah setiap tingkatan hanya
mempelajari ilmu-ilmu agama saja (al-‘Ulum al-Din). Padahal bila
diteliti lagi, ilmu agama saja tidak cukup untuk menyelesaikan problematikan
yang terjadi pada masa sekarang. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila dalam
studi keagamaan harus melalau tahapan-tahapan demi terwujudnya kedamainan dan
ketenteraman kehidupan di dunia.
Tahapan
dalam pembelajaran ilmu agama bisa dipetakan menjadi tiga bagian yaitu: sebagai
dasar untuk peluma yang harus ditanamkan adalah al-‘Ulum al-Din (dasar-dasar
keagamaan), berlanjut kepada al-Afkar al-Islamiy (pemikiran-pemikiran
Islam) yang berfungsi untuk mengkaji semua pemikiran yang ada dalam agama Islam
baik dari sekte akidah, tasawuf, filsafat, fikih, dan lain-lain, dan terakhir al-Dirasat
al-Islamiyah tahapan ini berfungsi untuk mengjadi Islam baik dari dalam
maupun dari luar, hingga pada akhirnya bisa menunculkan pemikiran yang
objektif.
Kurangnya
kajian al-Dirasat al-Islamiyah inilah yang menjadi penyebab fanatiknya
orang beragama khususnya orang-orang Islam, sehingga beranggapan yang diusung
oleh ulama klasik langsung diklaim benar, tanpa adanya pelacakan validitasnya. Hal
ini juga menjadi penyebab merosotnya perkembangan keilmuwan Islam yang ada pada
masa sekarang. Oleh karena itu, kiranya sangat penting mengetahi metodologi
baru demi kelestarian dan kedamaian hidup di dunia sebagaimana kedamaian yang
telah dianjurkan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad.
Terdapat
beberapa metodolog dalam penelitian agama sebagaimana yang telah diusung oleh
Ricard Martin yaitu:

Demikian
pula yang telah digagas oleh Charles Adams:

Tidak
semerta-merta yang dikatan para ulama klasik langsung diterima tanpa adanya
pengkajian ulang, sebab ruang dan waktu telah berubah dan hal ini menyebabkan
butuhnya perubahan pola pikir yang lebih mencocoki pada ruang dan waktu yang
ada pada masa sekarang.
Salin
itu, sebagai umat manusia yang hidup dalam satu tempat yaitu dunia bukan hal
bijak bila mengklaim salah terhadap agama lain tanpa adanya dasar dan penelitan
terlebih dahulu. Oleh karena itu Kim Knott memberikan menciptakan sebuah rumus
ruang hampa yang kemudia diisi. Kim Knott menjelaskan, ketika mengadakan
penelitian antar agama, maka posisi peneliti ada kalanya komplit obserfer,
obserfer as partisipan, partisipan as obserfer, dan komplit partisipan.
Bila
peneliti agama menerapkan hal ini, maka penelitiannya akan bersifat objektif
hingga tidak mudah menyalahkan agama-agama lain yang bersebrangan dengan
keyakinannya.
2.
Methodology in
Islamic Law
Seringkali
terjadi kesalahan dalam memahami metodologi Islam yang hingga saat ini masih
membudaya dalam diri umat Islam sendiri. Mayoritas umat Islam memiliki sangkaan
bahwa semua hadis Nabi harus diikuti, tanpa adanya pemisiah dan melilahan
terlebih dahulu. Tidak cukup hanya dengan hadis Nabi, mayoritas umat Islam pun
juga menganggap bahwa hukum fikih yang telah dirumuskan oleh para ulama juga
harus diikuti dan dipatuhi layaknya wayhu yang diturunkan oleh Allah. Ini
merupakan sebuah kesalahan dalam penelitian agama.
Jasser
Auda, memberikan sebuah penjelasan yang sangat bagus mengenai hal ini. Ia
berusah memilah antara hadis yang termasuk wahyu yang harus diikuti dan hadis
yang bukan wahyu sehingga tidak harus diikuti serta mengeluarkan fikih dari
zona yang saklar. Ia membedakan antara teori klasik dengan teori kontemorer
dalam meninjau metodelogi Islam.
Gambaran
Jasser Audah mengenai hal ini bisa dilihat dari table di bawah ini:
Pendekatan teori
sistem pada teori hukum islam

![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
Teori kentemporer

Tidak
hanya membedakan teori klasik dan kontemporer dalam permasalah wayhu, melainkan
Auda juga menjelaskan maqasid syariah yang seharausnya terjadi pengembangan dan
tidak bisa disamakan dengan teori yang telah ditetapkan oleh ilmuwan klasik.
Auda
juga memberikan sebuah gagasan baru dalam maqasid syariah yang mana bila pada
klasik selalu mengutamakan al-Dharuriat, berlanjut pada, al-Hajiat, dan pilihan
terakhir adalah al-Tahsiniat. Menurut teori klasik al-Hajiat tidak boleh
diutamakan daripada al-Dharuriat dan demikian seterusnya. Numun, teori yang
digagas oleh Auda, semua tidak bisa ditinggalkan, akan tetapi harus seimbang
tanpa mengutamakan salah satunya.
Perubahan
dalam teori ini merupakan sebuah wawasan baru agar umat Islam tidak terjebak
pada hadis kemudia semerta-merta menerimanya tanpa melihat zona hadis tersebut.
Dengan adanya teori yang telah dirumuskan oleh Audah ini, sedikit banyak bisa
menyatukan umat Islam sendiri dalam permasalah yang tidak berhubungan dengan
wahyu. Seperti yang telah diketahui, bahwa perpecahan umat Islam tiada lain
disebabkan oleh kefanatikan pada pendapat ulama yang beraroma fikih. Padahal
bila diteliti fikih bukalah bagian dari wahyu yang harus diikuti oleh umat
Islam.
3.
Penyatuan Umat
Beragama
Menjelani
hidup di dunia tidak akan bisa terlepaskan dan terpisahkan dari organisasi dan
komunikasi antara umat manusia tanpa terlebih dahulu memandang agama atau
golongan terlebih pada masa globalisasi seperti saat ini. Sekat-sekat agama maupun
sekte terkadang menjadi sebuah kedala yang bisa menghambat komunikasi dengan
baik. Dari sini muncullah tokoh-tokoh Muslim yang ingin menyatukan perbedaan
pendapat antara sekte dan agama.
Konflik
antara sekte dan agama sering kali muncul baik di dunia maya maupun dunianya.
Sekte dan agama seakan menjadi pemicu utama kehancuran, perkelahian, dan
perpecahan umat manusia. Permusuhan dan perbecaan seperti itu bukanlah harapan
adanya semua agama, jika melihat pada hakikat dan asal-usul terciptanya agama.
Seharusnya agama memberikan kesejukan dan ketenterama sesama manusia. Oleh
karena itu, tidak berlebihan bila Rujih Gharaudi berkata “Tidak penting bagiku
orang berkata ‘Aku Kristen atau aku Muslim’ akan tetapi yang terpenting bagiku
adalah apa yang telah didilakukan sebuah keimanan pada dirimu?” ia juga
menambahkan, “Tidak mungkin menjahui agama-agama lain hanya disebabkan satu
agama, akan tetapi kita harus mencari tahu bagaimana cara untuk menyatukan kita
dengan agama-agama lain.”
Muhammad
Thalibi menjelaskan kerusakan agama disebabkan dua hal. Dan dua hal inilah yang
menyebabkan kematian Tuhan.

Yang
dimaksud dengan kematian Tuhan dari segi internal adalah kerusakan yang terjadi
dari dalam agama itu sendiri seperti terpeahnya agama mejadi beberapa sekte
yang saling menyalahkan satu sama lain. Sedangkan yang dimaksud kematian Tuhan
dari internal ialah kekerasan dan permusuhan yang terjadi antara satu agama
dengan agama yang lain.
Dalam
mengatasi permasalah yang menyebabkan kematian Tuhan ini Thalibi memberikan sebuah
solusi untuk menyatukan konflik yang terjadi bari dari segi internal maupun
eksternal.
a.
Solusi dalam
internal
1)
Toleransi
terhadap pendapat yang berbeda.
2)
Mengahargai
pendapat orang lain.
3)
Tidak boleh
berkata atas nama Islam, akan tetapi hanya boleh berkata atas nama Muslim
b.
Solusi dalam
eksternal
1)
Diskusi/tukar
pikiran
2)
Toleransi
Bila solusi dalam sebab kematian tuhan baik dari
segi internal maupun eksternal ini sudah bisa terwujudkan, maka tidak mustahil
kedamaian salam atau agama ataupun beragama tidak akan terjadi kerusakan dan
tidak akan terjadi permusuhan.
Comments
Post a Comment