PERUBAHAN
SESTEM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENGHADAPI PERKEMBANG ZAMAN
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan pilar kesuksesan bangsa,
dengan adanya pendidikan bangsa bisa maju dan bersaing dalam menjalankan
kehidupan di dunia, demikian menurut para pakar pendidikan. Penjelasan mengenai
pendidikan sering kali disentuh oleh al-Qur’an dan al-Qur’an juga menganjurkan
untuk selalu belajar serta bertanya sebagaimana dalam firman Allah (Q.S.
Mujadilah: 11)
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ
“Niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”[1]
Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah agar bisa
mengetahui sesuatu yang belum diketahui sebelumnya kemudia bisa menerapkan
teori yang telah diketahui pada dunia nyata. Namun, pemahaman dasar terhadap
pendidikan sering kali disalah gunakan baik dari peserta didik, orangtua,
pendidik, dan bahkan masyarakat dengan artinya pendidikan hanya digunakan untuk
mencari kerja. Pemahaman ini sudah mendarah daging di Indonesia. Oleh karena
itu, bukan sesuatu yang asing bila orangtua berkata “Sekolah yang rajin agar
bisa dapat kerja yang enak dan mapan.”
Perubahan pemahaman mengenai pendidikan yang
awalnya bertujuan untuk mengetahui berubah menjadi mendapatkan perkerjaan
inilah yang menjadi problem bagi para peserta didik, sebab tujuan mereka
belajar bukan lagi untuk memberikan perubahan akan tetapi untuk mendapatkan perkerjaan
yang pada akhirnya menjadi bawahan dalam satu perusahaan. Tujuan yang awalnya
agar bisa mengetahui berubah menjadi tujuan untuk mendapatkan satu lembar
kertas yang berisi nilai kelulusan. Seakan bukan ilmu yang mereka harapkan
melainkan hanya lembaran tanda lulus. Oleh karena itu, tidak heran jika di
sebagian Negara khususnya Indonesia marak penjualan ijazah kelulusan baik SD,
SMP, SMA, bahkan sarjana, dan pascasarjana. Ini merupakan sebuah problem yang
terjadi ketika belajar ilmu umum “bukan pelajaran keagamaan.”
Beda halnya dengan problem yang terjadi pada
pendidikan yang berbasi agama khususnya pendidikan agama Islam seperti yang ada
di pondok pesantren ataupun lainnya yang hanya memberikan dasar keagamaan tanpa
memikirkan perubahan ruang dan waktu. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa
mayoritas pondok pesantren terutama yang berbasis salaf hanya mengajarkan
pemikiran satu madzhab fikih tanpa memandang tokoh-tokoh fikih lainnya. Kajian
tokoh fikih yang tersebar di pondok pesantren Indonesia ialah al-Syafi’I dan
Syafi’iyah. Memang tidak salah ketika mengkaji satu tokoh fikih dalam sebuah
lembaga pendidikan, akan tetapi kejian satu tokoh bisa salah ketika peserta
didik hanya didokterin satu pendapat, sebab dengan demikian peserta didik akan
fanatik pada pendapat yang telah ia pelajari dan dari keterangan gurunya. Hasil
dari kefanatikan ini yang menjadi penyebab saling menyalahkan antara pendapat
yang bersebrangan. Selain itu, pendidikan yang hanya menyajikan satu tokoh
klasik seakan tidak mengikuti perkembangan zaman dan menggambarkan pendapat tokoh
yang dikaji selalu relevan disetiap ruang dan waktu. Hingga pada akhirnya
kebekuan/jumud yang terjadi dalam dunia Islam.
Kebekuan inilah yang menjadi problem pendidikan
Islam tidak bisa berkembang dan bersaing dalam bidang keilmuan seperti yang ada
pada masa keemasan Islam pada abad ke-2 Hijiriah dan dengan kebekuan inilah
pendidikan Islam Indonesia tidak bisa bersaing dalam dunia internasional.
Fokus kajian dalam makalah ini ialah membahas
tentang problem pendidikan Madin (Madrasah Diniyah) yang terkesan fanatik pada
satu pendapat mujtahid klasik, kesalahan dogma dalam pendidikan, dan solusinya
sebagaimana yang marak di Indonesia yang mengakibatkan ilmuwan Islam Indonesia
tidak bisa menembus dunia internasional.
B. Pembahasan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa
pendidikan agama Islam di Indonesia kalah dalam bersaing dalam dunia
internasional. Hal ini disebabkan dari lembaga pendidikan yang mengajarkan kefanatikan
pada satu pendapat ulama klasik yang dianggapnya benar seperti yang sering
diajarkan dalam sebuah lembaga ialah pendapat al-Sya’fi’I atau al-Syafi’iyah.
Lembaga pendidikan lebih mengutamakan pembelajaran pendapat al-Syafi’iyah
daripada membedah dari ayat-ayat al-Qur’an atau hadis, seakan pendapat
al-Syafi’iyah lebih sakral daripada al-Qur’an dan hadis Nabi. Lebih dari itu,
sering kali muncul kata-kata dari para pendidik, “Jangan mengambil hukum dari
al-Qur’an, sebab takut salah atau pemikiranmu belum sampai.”
Mungkapan di atas yang menjadikan peserta didik
tidak berani menjerumuskan dari pada ayat-ayat al-Qur’an dan fanatik pada
pendapat ulama yang telah dipelajari dalam kelas. Pendidik dan peserta didik
lebih akrab berinteraksi dengan pendapat ulama klasik yang belum tentu benar
dan relevan pendapat pada masa sekarang daripada berinteraksi dengan firman
Allah dan sabda Nabi Muhammad. Pada akhirnya muncullah dogma bahwa semua
permasalah yang ada di dunia sudah dirumuskan semua oleh ulama klasik dalam
karya-karyanya yang bisa dinikmati hingga saat ini. Dengan sebab ini pula
pemikiran peserta didik Madin tidak bisa berkembang mengikuti perkembangan dan
kebutuh zaman yang di hadapinya di masa kontemporer ini.
Menganggap benar satu pendapat dan hanya
memusatkan pembelajaran pada satu tokoh inilah yang menjadi penyebab bekunya
perkembangan keilmuwan dalam bidang agama serta terpecahnya umat Islam yang
hanya disebabkan permasalah ijtihadiyah. Jika pembelajaran masih tetap
diterapkan dengan cara seperti ini sudah bisa dipastikan ilmuwan Islam
Indonesia tidak akan bisa menembuh dunia internasional. Kesadaran perubahan
ruang dan waktu sudah tidak lagi disadari.
Dokrin anggapan pendapat al-Syafi’iyah paling
benar atau mendekati pada kebenaran menjadi unsur tertutupnya keberanian
peserta didik untuk mempelajari pemikiran dalam ilmuwan Islam lain terlebih
ilmuwan Islam kontemporer. Arti toleransi yang dianjurkan dan diangkat dalam
agama Islam tidak bisa ditemukan lagi. Oleh karena itu, tidak heran bila di
Indonesia sering kali terjadi permusuhan antara Nahdhatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah. Bukan seharusnya perbedaan dalam berpendapat menjadi titik tekan
munculnya permusuhan atau salaing menghina. Seharusnya perbedaan menjadi sebuah
bunga keindahan hidup untuk melestarikan kehidupan lebih mudah. Namun, pada
realitanya perbedaan menjadi unsur utama permusuhan dalam agama Islam terutama
di Indonesia.
Pada dasarnya, setiap Madin mengajarkan sejarah
Islam dari masa kenabian hingga masa dinasti Abbasiyah. Seharusnya pendidik dan
peserta didik bisa mengambil hikmah atas terjadinya perbedaan pendapat yang
terjadi pada sama-sama yang sudah lewat serta bisa menjadikan pelajaran
berharga masa keemasan Islam yang keilmuwannya bisa menembus dunia
internasional dan karya-karya dijadikan acuhan dalam permasalah keilmuwan oleh
orang-orang barat masa sekarang. Sebagaimana dalam bidang kedokteran, karya
Ibnu Sina masaih tetap diterapkan meski terjadi perubahan dalam beberapa hal.
Selain mengajarkan sejarah Islam, Madin juga
banyak menagajarkan ilmu kaidah fikih dan metode pengambilan hukum dari ayat
al-Qur’an dan Hadis. Dengan dasar ilmu ini, seharusnya pendidik dan peserta
didik terbiasa untuk merealisasiakan ilmu yang telah dipelajari sehingga bisa
memberanikan diri untuk merumuskan hukum baru yang lebih sesuai pada zaman dan
kebutuhan zaman, tanpa harus fanatik pada pendapat terdahulu. Tidak salah bila
terdapat komentar dari salah satu kalangan bahwa orang-orang Indonesia hanya
bisa menghafal tanpa bisa memperaktekkan ilmu yang telah dihafalnya.
Peserta didik merupakan penerus bangsa, jika
penerus bangsa diberikan wawasan yang tidak berkembang, maka bagaimana dengan
generasi telahnya? Pemikiran jumud ini yang akan semakin membudaya dan pada
akhirnya perpecahan akan semakin meraja lela. Oleh karena itu, perubahan metode
pendidikan Madin merupukan hal yang sangat urgen untuk mengatasi problem
perpecahan umat Islam demi generasi penerus bangsa yang bisa mengangkat ilmuwan
Islam di Indonesia.
Tidak berlebihan bila salah satu tokoh Islam modern
dari Aljazair memberikan keritikan kepada sistem pendidikan yang ada
dimayoritas Negara Islam diseluruh penjuru dunia. Kritikan itu dilontarkan oleh
Muhammad Arkon. Ia menyatakan, “Seharusnya materi agama tidak boleh diajarkan
kepada peserta didik yang masih sekolah dasar hingga sarjana (S-1), sebab
dengan adanya pendidik agama ini pelajar tidak akan bisa berkembang dan hanya
bisa mengikuti pendapat yang telah dipelajarinya. Pembelajaran materi agama
baiknya diajarkan pada siswa yang sudah bisa berfikir mana yang benar dan salah
atau minimal siswa yang sudah sekolah pascasarjana (S-2 dan S-3).”
Ungkapan Muhammad Arkon di atas tidak ada
salahnya, bahkan pemakalah membenarkan ungkapannya setelah melihat kondisi umat
Islam khususnya di Negara Indonesia yang fanatic pada satu pendapat saja. Maksud
Muhammad Arkon ingin mentiadakan pemebelajaran agama dari materi ajar tiada
lain hanya untuk menghilangkan kefanatikan dan kebutahan umat Islam yang
mengakibatkan Islam tidak bisa menerima perubahan dan perkembangan zaman yang
dihadapi sekarang. Selain itu, agama umat Islam bisa berfikir secarang langsung
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi sumber dan dasar uamt Islam.
Jika dirangkai secara sestematis, maka
pembelajaran yang ada di Negara mayoritas Islam khususnya Indonesia bermuara
pada kemerosotan keilmuwan. Coba lihat table di bawah ini:

Yang dimaksud dengan dogma di sini ialah keyakinan
yang didistribusikan pendidik kepada peserta didik yang hanya berpegang pada
satu pendapat dari ulama saja dan memandang sebelah mata argumen ulama lain. Dogma
seperti ini bisa menghasilnya kefanatikan yang pada akhirnya menyalahkan
argumen lain yang bertentangan padahal argumen yang bertentanga belum tentuh
salah dan pendapat yang diyakininya belum tentu kebenarannya. Jika sudah muncul
kefanatikan, maka rasa toleransi terhadap pendapat yang bertentangan sudah
pasti berkurang. Kita toleransi sudah hilang, maka muncullah perpecahan antara
satu agama atau dengan bahasa lain kematian Tuhan dari sudut internal.[2]
Seperti yang telah diketahui, bahwa tugas ilmu
terbagi menjadi tiga bagian yaitu:[3]
1. Menerangkan sebuah
kejadian
2. Mengendalikan sebuah
kejadian
3. Meramalkan sebuah
kejadian.
Dengan dasar inilah pemakalah
menjelaskan problem pendidikan yang terjadi di Negara mayoritas Islam terutama
di Indonesia. Tugas ilmu menjadi penerang sebuah kejadian sudah dijelaskan di atas.
Beralihkan tugas ilmu yang kedua yaitu mengendalikan sebuah kejadian.
Melihat kondisi pendidikan
yang mengajarkan pada kefanatikan pada satu pendapat ulama yang pada akhirnya
bisa menyebabkan perpecahan dan merosotnya keilmuwan Islam khususnya yang ada
di Indonesia, maka butuh perubahan dalam materi ajar yang sudah lama diterapkan
dalam lembaga pendidikan khususnya pondok pesantren yang berbasis salaf.
Perubahan dalam materi ajar yang mungkin direalisasikan dengan mudah ialah
memberikan masukan pada peserta didik pendapat ulama lain yang bertanangan dan
memberikan sebuah tugas untuk meneliti pendapat yang lebih unggul dari
asas-asas ajaran Islam serta memeraktikkan kaidah asal dari hukum Islam seperti
materi Ushul Fikih dan Mantik.
Dengan cara demikian, maka
materi ajar lebih mengarah pada praktik bukan hanya sekedar teori. Lebih
mengajarkan peserta didik untuk berani berfikir pada ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis tanpa harus melihat dan memandang pendapat ulama yang sudah dirumuskan
pada masa lampau. Menghilangkan doktrik pendapat lebih benar menurut versi
individu terutama dari para pendidik. Serta sesekali memberikan pemikiran yang
lebih moderat kepada peseta didik, agar peserta didik lebih terbuka dalam
menerima perbedaan sudut pandang yang
terjadi pada masa-masa modern.
Cara demikian yang kurang
diperhatikan oleh mayoritas lembanga pendidikan agama Islam yang ada di Negara
Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, mengadakan perubahan bukan hal yang mudah
terutama bila yang hendak dirubah merupakan sesuatu yang sudah mendarah daging
dan mengakar dalam sebuah lembaga atau masyarakat. Namun, bila tidak diadakan
perubahan, maka keilmuwan Islam tidak akan bisa memberikan perubahan dan tidak
akan bisa dipandang dalam kacamata internasional. Bukun berjutuan untuk
mendapat nama baik atau pamor, akan tetapi untuk membuktikan bahwa Islam agama
yang upsolut serta universal.
Semua permasalah baik yang berhubungan
dengan fisika, sain, kedokteran, biologi, hingga yang metafisika sudah
dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Kenapa yang lebih meneliti hal itu
orang-orang non Islam bukan orang Islam sendiri yang memiliki sumber dasar?
Penemuan-penemuan baru dari ilmuwan barat atau non Islam sudah terlebih dahulu
dijelaskan dalam kita suci umat Islam semenjak 15 abad yang lalu. Kemana
kesadaran umat Islam? Semua tiada lain bermula dari kesalahan sistem dan metode
belajar mengajar yang ada dalam dunia Islam.
Apakah Islam Indonesia bisa
jaya dan bisa bersaing dengan ilmuwan non Islam baik Eropa maupun Amerika?
Bisa, asalkan ada perubahan mental dalam pembelajaran dan perubahan metode
belajar mengajar yang menyebabkan kejumudan. Lebih mendalami ayat-ayat
al-Qur’an dengan menggunakan metode klasik maupun kontemporer untuk menggali
arti ayat-ayat al-Qur’an yang lebih suseuai dengan masa yang dihadapi,
menghilangkan kefanatikan pada pendapat yang telah dirumuskan oleh ulama
terdahulu, dan memperlebar pintu toleransi dalam berargumen. Dengan demikian
pendidikan Islam di Indonesia bisa maju ketaraf internasional.
Berfikir baik dari segi
internal maupun eksternal merupakan anjuran dari kitab suci al-Qur’an. Membuang
kefanatikan pun juga diperintahkan dalam al-Qur’an, bahkan al-Qur’an menghina
orang-orang yang tidak memanfaatkan pemikiran yang telah diberikan Allah
padanya manusia dan diumpamakan dengan hewan bahkan bisa lebih buruk dari
hewan. Sebagaimana yang maktub dalam firman Allah (Q.S. al-Baqarah: 170)
وَإِذا
قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا ما أَنْزَلَ اللَّهُ قالُوا بَلْ نَتَّبِعُ ما أَلْفَيْنا
عَلَيْهِ آباءَنا أَوَلَوْ كانَ آباؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلا
يَهْتَدُونَ
Ayat di atas merupakan sebuah
celahan bagi orang-orang yang hanya mengikuti tradisi yang sudah berjalan
turun-temurun dari nenek moyang, sebab belum tentu pendapat atau teradisi yang
sudah berjalan dari masa-kemasa benar. Dalam ayat ini juga menjadi indikasi
kebebasan dalam berfiki dalam masalah agama dan melarang taklid atau fanatic
pada pendapat orang lain yang belum tentu benarnya. Seandainya dalam sistem
pendidikan Indonesia bisa memperaktikkan intisari ayat di atas, maka metode
pembelajaran yang mengajarkan satu pendapat ulama dalam bidang fikih akan
diminimalisir serta bisa lebih terbuka menerima penemuan baru yang berbeda dari
dogma yang telah ditanamkan semenjak kecil.
Selain itu, al-Qur’an juga
menggambarkan orang-orang yang tidak mau berfikir dengan dengan hewan bahkan
lebih buruk daripada hewan yang tidak memiliki akal sebagaimana firman Allah
(Q.S al-A’raf: 179)
لَهُمْ
قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِها وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِها وَلَهُمْ
آذانٌ لا يَسْمَعُونَ بِها أُولئِكَ كَالْأَنْعامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولئِكَ
هُمُ الْغافِلُونَ
Ayat di atas menunjukkan bahwa
seharusnya pemberian dari Allah baik berupa hati, mata, dan telinga harus
digunakan sebaik mungkin untuk mendalami ayat-ayat-Nya. Orang yang telah
diberikan kelengkapan, tapi ia tidak mau berfikir maka ia lebih buruk daripada
hewan yang tidak memiliki akal. Perintah untuk berfikir mengenai Kalam Allah
merupakan sebuah perintah, dari sini nampak jelas kesalahan orang-orang yang
beranggapan jangan berfikir atau mengambil hukum langsung dari al-Qur’an, sebab
logika tidak sampai. Dogma seperti ini yang disalahkan Allah. Orang yang
berfikir meskipun pemikirannya salah tetap mendapatkan pahala demikian yang
diterangkan dari hadis Nabi Muhammad. Lantas apa yang melatar belakangi adanya
kefanatikan pada satu pendapat? Apa yang menjadi dasar harus mengikuti pendapat
klasik? Dan apa yang menjadi sandaran harus membenarkan pendapat sendiri dan
menyalahkan pendapat orang lain? Sedangkan al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa
hanya Allah yang mengetahui kebenaran atas berbedaan yang terjadi antara
manusia sebagaimana firman Allah (Q.S Ali ‘Imran: 55)
ثُمَّ إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأَحْكُمُ بَيْنَكُمْ فِيما كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Hanya Allah-lah yang tahu kebenara atas perbedaan yang terjadi antara manusia,
maka sangat tidak pandapat merasa pendapat yang ia yakini paling benar atau
pendapat yang telah diajarakan secara turun-temurun paling benar dan
menjastifikasi argument orang lain yang berlawanan salah. Allah yang akan
menunjukkan kebenaran dan kesalahan kelak di hari akhir. Jika manusia
beranggapan pendapatnya yang paling benar, maka secara otomatis ia merasa
dirinya sudah sampai pada peringkat ketuhanan.
Dengan adanya ayat di atas pula manusia diajarkan untuk saling toleransi
dan terbuka atas pendapat yang berlawanan, sebab orang yang mencari kebenaran
bagaikan sekumpulan orang buta yang ingin tahu gajah. Hali dari rabahan mereka
tidak ada yang salah, sebab yang mereka sentuh adalah satu herwan, namun
perbedaan hanya terdapat dalam mendiskripsikan gajah tersebut.
Membuka pintu toleransi bisa terwujud bila tidak ada doktrin dalam proses
belajar mengajar. Perkembangan pemikiran bisa didapatkan bila pendidik selalu
mengajarkan peserta didik untuk berani berfikir mengenai ayat-ayat al-Qur’an
yang sudah jelas bersifat upsolut. Dengan cara demikain pendidikan Islam yang
berbasis salaf bisa bersaing di dunia internasional dan Islam bisa merasakan
kejayaan sebagaimana pada masa keemasan Islam pada abad ke-2 Hijriah.
C. Kesimpulan
Sangat penting adanya
berubahan sestem pembelajaran yang ada dalam pondok pesantren. Menghilangkan
dokterin dan kefanatikan pada peserta didik menjadi bahan dasar dalam
perkembangan keilmuwan Islam di masa mendatang. Memberanikan dalam berfikir,
menjadi kunci terbukanya wawasan. Kefanatikan dan hilangnya toleransi yang
terjadi saat ini tidak lepas dari adanya peran pendidikan di pondok pesantren yang
selalu membentengi peserta didik dalam berfikir kritis. Oleh Karena itu,
lulusnya selalu memberikan solusi klasik yang belum pasti relevan pada masa
sekarang.
Ayat-ayat al-Qur’an
selalu menganjurkan semua manusia untuk selalu berfikir dari apa saja yang ada
di dunia baik yang ada dalam diri manusia sendiri maupun dari sesuatu yang ada
di sekelilingnya. Perintah berfikir ini merupakan sebuah perintah untuk semakin
maju menghadapi zaman yang ada pada masa sekarang. Jika umat Islam hanya diam
dan tidak merealisasikan perintah dari al-Qur’an, maka kemunduran umat Islam
yang akan dirasakan.
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan
Terjemahnya, (Bandung: CV Diponegoro, 2008), 543.
[2] Keterangan di atas merupakan teori dari peribadi
pemakalah. Setuju maupun tidak itu merupakan sebuah kewajaran dan merupakan
sebuah keindahan dalam perkembangan keilmuwan. Tidak ada satupun yang bersifat
upsolut kecuali apa yang difirmankan oleh Allah.
[3] Tugas ilmu sebagaiamana keterang yang tercatat,
pemakalah dapatkan dari keterangan Daniel Rasyid saat mengisi perkuliah
pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
Comments
Post a Comment