Eksistensi
Hadi>th
Dalam Perspektif
al-Qur’a>n
By;
Muhammad
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
“Katakanlah, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya”. (Al-Nu>r: 54)
I. Pendahuluan
Al-Qur’a>n dan hadi>th adalah dua sumber dasar primer umat Islam sedunia. Di mana dan kemanapun umat Islam berada al-Qur’a>n dan hadi>th harus menjadi sebuah pijakan itulah yang diketahui oleh umat Islam dengan dasar hadi>th Rasul (RH. Hakim)
(يا أيهاالناس : إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبداً ، كتاب الله وسنة نبيه)[1]
“Wahai Manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) telah mewariskan pada kalian, bila kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya (warisan itu adalah) kitab Allah (al-Qur’a>n) dan hadi>th Nabi-Nya”.
Keselamat di dunia dan akhirat bisa diperoleh bila al-Qur’a>n dan hadi>th tertancapkan dalam hati umat Islam. Namun, benarkah hadi>th yang kita ketahui sekarang adalah hadi>th yang dimaksud oleh Rasul saw? Sebuah petanyaan yang tidak mudah dijawab oleh umat Islam, karena dasar/dalil yang mereka miliki masih terbilang sangat lemah.
Al-Qur’a>n menjadi dasar primer umat Islam, itu merupakan hal yang tidak bisa diragukan lagi, karena sudah jelas terbukti bahwa al-Qur’a>n adalah firman Allah yang di dalamnya terdapat I’ja>z, kefasihan tak tertandingi, susunan sangat rapi, dan lain sebagainya. Sebagai butki untuk memperkuat bahwa al-Qur’a>n adalah firman Allah bukan perkataan Muhammad saw, dari masa-kemasa al-Qur’a>n selalu mengadakan sayembara pembuatan kalam yang bisa menandinginya, akan tetapi hingga saat ini tidak ada satupun yang bisa mengalahkan al-Qur’a>n.
Berpindah pada hadi>th Muhammad saw, apakan hadi>th Muhammad mengandung I’ja>z? Apakah Muhammad saw pernah mengadakan seyembara sebagaimana al-Qur’a>n mengadakan kontes? Tidak.! Itulah jawaban yang cocok pada realita yang ada. Dari sini muncullah sumber permasalahan apakah hadi>th Muhammad bisa dijadikan pijakan umat Islam dalam merumuskan hukum? Apakah ada keterangan dari al-Qur’a>n bahkan dari hadi>th sendiri akan kewajiban mengikuti hadi>th Muhammad saw?
Sebelum Anda membaca makalah ini, alangkah baiknya bila Anda terlebih dahulu melepaskan lebel Islam yang mengikat pada leher Anda, agar logika bisa menerima kenyataan yang harus diakui oleh semua umat Islam. Bila Anda masih belum menerima, maka Anda tergolong orang yang memiliki over fanatisme yang pada akhirnya Anda tidak akan menemukan kebenaran hingga ajal menjemput. Di bawah ini adalah sebagian penjelas penyegar pikiran bahwa hadi>th Muhammad bukanlah dasar agama Islam dan tidak wajib bagi semua umat Islam mengikutinya.
II. Pembahasan
1- Al-Qur’a>n Tidak Membutuhkan Hadi>th
Selama ini yang tersimpan dalam memori umat Islam hadi>th Muhammad berposisi sebagai penjelas al-Qur’a>n, menerangkan hal yang belum tersinggung dalam al-Qur’a>n, Menjelaskan ayat yang masih bersifat global, Men-sepesifik-kan ayat yang masih umum, dan Menqayiti lafad yang muklak. Benarkah memori itu?
Ternyata setelah diteliti secara mendalam al-Qur’a>n tidak membutuhkan penjelasan dari hadi>th Muhammad saw, karena Allah mengungkapkan dalam al-Qur’a>n surat al-An’a>m ayat 38
(مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ)
“Tidak ada sesuatu pun yang Kami Luputkan di dalam kitab.”
Ayat ini mengindikasikan bahwa hadi>th tidak dibutuhkan, karena semuanya telah tercatat di dalamnya. Dan ayat di atas sangat bertolak belakang dengan pandangan ulama Islam baik klasik maupun kontemporer bahwa posisi hadi>th sebagai penjelas, pelengkap, dan lain-lain. Jika ideology mereka harus dibenarkan, maka bisa dikatakan mereka tidak memahami makna al-Qur’a>n atau bahkan mereka tidak mempercayai kitab al-Qur’a>n. Bila dalam al-Qur’a>n telah mencakup segalanya, maka apa guna adanya hadi>th. Jika memang benar hadi>th sebagai pelengkap al-Qur’a>n, maka al-Qur’a>n tidak langkap dan otomatis firman Allah tidak bisa dipercaya, karena berbeda dengan kenyataan.
Selain ayat di atas, terdapat pula ayat yang menjelaskan habwa hadi>th Muhammad sama sekali tidak dibutuhkan dalam agama Islam sebagaimana friman Allah surat al-Nah}l: 89.
(وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ)
“Dan Kami Turunkan Kitab (al-Qur’a>n) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.”
Allah menurunkan al-Qur’a>n pada Muhammad saw agar bisa menjadi penerang dan penjelas segala sesuatu baik yang bersangkut-paut dengan urusan duniawiah maupun ukhra>wiyah. Selain itu, ayat di atas menggunakan lafad لِكُلِّ yang mengandung arti absolut/tidak terbatas. Semua permasahalan dan fenomena yang sudah, akan, atau sedang terjadi telah dijelaskan dalam al-Qur’a>n, karena al-Qur’a>n sendiri menggunakan lafad umum. Sedangkan lafad umum harus ditetapkan keumumannya bila tidak ditemukan lafad yang mengkhusukan.
Bila diteliti lagi, ternyata dalam kitab-kitab tafsir menjelaskan bahwa al-Qur’a>n telah mencakup seluruh aspek kehidupan baik dengan melalui dalil rinci maupun dalil global, namun yang perlu disayangkan mereka terlalu fanatik pada Muhammad saw, sehingga menambahi hal yang tidak harus ditambahi. Tambahan dari ulama tafisir itu adalah dalil yang bersifat global masih membutuhkan penjelasan dari Muhammad saw. Bersumber dari mana perkataan mereka? Padahal al-Qur’a>n tidak pernah berkata demikain.!
Mungkin dasar yang mereka pakai adalah firman Allah surat al-Hashr ayat 7 yang berbunyi:
(وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ)
“Apa yang diberikan Rasul saw padamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah pada Allah. Sesungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Para ulama beranggapan dari ayat ini hadi>th Muhammad saw bisa dijadikan sandaran umat Islam dan harus dijadikan rujukan dalam setiap urusan, dengan alasan karena ayat ini mengandung sebuah perintah untuk menerima segala sesuatu yang datangnya dari Muhammad saw. Sedangakan hal yang datang dari Muhammad saw tidak hanya sebatas al-Qur’a>n saja, melainkan hadi>th pun datangnya dari Muhamamd saw. Benarkan maksud ayat di atas seperti itu? Coba sekarang kita benturkan dangan firman Allah surat al-Najm ayat 3-5
(وَما يَنْطِقُ عَنِ الْهَوى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحى عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوى)
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut keinginannya. Tidak lain adalah wahyu yang di wahyukan kepadanya. Yang diajarkan kepadanya oleh Jiberil yang sangat kuat.”
Apakah benar maksud dari friman Allah dalam surat al-Hashr seperti yang diprediksikan ulama tafsir? Ternyata setelah dibenturkan dengan friman Allah surat al-Najm ungkapan ulama tafsir melemah, karena maksud surat al-Hashr ayat 7 adalah setiap sesuatu yang datangnya dari Muhammad tapi berasal dari yang diwahyukan Allah (al-Qur’a>n). Ini berdasarkan firman Allah surat al-Najm ayat ke 3-5 bahwa setiap sesuatu yang datangnya dari Muhammad dan harus diikuti adalah perkataannya yang tidak ada unsur hawa nafsu, yang Allah ajarkan padanya, dan yang berupa wahyu.
Sekarang, apakah hadi>th Muhammad saw tergolong wahyu? Lagi-lagi jawabanya yang benar adalah tidak. Jawaban ini juga diamini oleh semua ulama Islam dari masa-kemasa (hadi>th bukanlah wahyu dari Allah). Setelah Anda membaca makalah ini, apakah hati Anda masih tidak bisa menerima kebenara? Jika memang masih belum bisa mengakui kebenaran yang ada, maka saya akan memberikan satu butki lagi bahwa hadi>th Muhammad saw bukan dalil shar’I dan bagi pengingkar hadi>th Muhammad saw tidak masuk dalam katagori orang kafir.
2- Allah Tidak Menjaga Keabadian Hadi>th
Allah selalu menjaga kesucian dan keabadian al-Qur’a>n, Karena al-Qur’a>n itu sendiri merupakan pijakan semua umat Islam hingga akhir zaman kelak. Beda halnya dengan kitab-kitab yang Allah turunkan pada umat sebelum Muhammad saw, yang mana kitab-kitab mereka lenyep ditelan waktu bersamaan dengan meninggalnya nabi yang diutus. Ini berdasarkan firman Allah surat al-H{ijr ayat 9.
(إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’a>n, dan pasti Kami pula yang Memeliharanya.”
Dewasa ini kerap kali terjadi usaha-usaha tangan usil untuk menghancurkan al-Qur’a>n mulai dari pembakaran masal, merubah susunan al-Qur’a>n, dan pemalsuan al-Qur’a>n, namun usaha meraka putus dengan sia-sia, karena Allah sendiri telah berjanji akan menjaga al-Qur’a>n dari tangan-tangan kreatif. Ini menjadi sebuah bukti real bahwa al-Qur’a>n benar-benar firman Allah, Allah tidak berbohong akan janji menjaga al-Qur’a>n hingga hari akhir, dan sebuah bukti bahwa al-Qur’a>n memang benar-benar dasar agama Islam.
Beda halnya dengan hadi>th Muhammad, Allah sama sekali tidak menjaganya dari tangan-tangan kreatif dan rela hadi>th dicabik-cabik oleh mereka. Menurut nalar sehat, bila hadi>th Muhammad tergolong dalil shar’I dan harus diikuti oleh semua umat Islam, maka secara sepontan Allah akan menjaga dan mengabadikannya hingga hari kiamat, namun realita tidak berkata demikian. Buktinya, berapa hadi>th yang di dalamnya terdapat pemalsuan? Berapa hadi>th yang terjadi kontroversi? Hanya segelintir hadi>th saja yang bisa sampai pada predikat mutawatir. Semua ini menunjukkan kesalahan orang-orang yang mempunyai prinsip hadi>th Muhammad saw tergolong sumber primer Islam.
Dari keterang ini, sudah bisakah Anda memilah-milih antara yang benar dan salah? Jika Anda ingin mengakui sebuah kebenaran, maka terlebih dahulu Anda harus melepas semua lebel yang mengikat pikiran Anda. Benturkan dari dalil-dalil yang ada, dan pada akhirnya Anda akan mengkui bahwa hadi>th Muhammad saw bukanlah dalil yang harus diikuti, karena Allah hanya memerintah semua umat manusia berpegang pada al-Qur’a>n yang diturunkan lewat Muhamamd saw.
3- Muhammad saw Mengakui Hadi>thny Bukan Dalil Shar’I
Seperti yang telah kita ketahui dari sejarah perkembangan Islam, hadi>th Muhammad mulai dibukukkan pada priode kepemerintahan Umar bin Abdul Aziz (salah satu pemimpin dari Bani Umayyah. Masa jabatan mulai dari tahun 99-101 H). Umar bin Abdul Azizi memandang penting terhadap publikasi hadi>th, karena pada saat itu banyak terjadi pemalsuan hadi>th. Hingga pada akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintah Ibnu Shiha>b al-Zuhri dan ulama lain untuk mengumpulkan dan membukukan hadi>th agar tidak lenyap dari permukaan bumi.[2]
Cerita ini merupakan history pertama terbukukannya hadi>th Muhammad saw. Sedangkan pada masa-masa sebelumnya Muhammad saw selalu mencegah para sahabat menulis hadi>th, dengan alasan takut terjadi campur aduk antara wahyu Allah (al-Qur’a>n) dan ungkapan Muhammad saw sebagaiamana hadi>th yang datangnya dari Ibu Sa’i>d al-Khadri dari Rasulallah saw
(لَا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا سِوَى الْقُرْآنِ وَمَنْ كَتَبَ شَيْئًا سِوَى الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ)[3]
“Janganlah kalian menulis dariku selain al-Qur’a>n. Dan barang siapa yang menulis sesuatu selain al-Qur’a>n, maka hapuslah.” (RH. Ibnu Hibbah dalam shahihnya)
Hadi>th di atas menunjukkan makna bahwa Muhammad saw melarang semua sahabat menulis apa yang dikatakannya dan barang siapa yang telah menulis perkataannya, maka ia harus menghapunya. Larangan menulisan hadi>th ini mengindikasikan bahwa hadi>th tidak tergolong dari dalil yang bisa dijadikan pijakan oleh umat Islam. Bila memang hadi>th Muhammad saw bisa dijadikan h}ujjah, maka Muhammad saw tidak akan melarang sahabat mempublikasikan hadi>th, bahkan Muhammad saw sendiri akan memerintah sahabat untuk menulis hadi>th agar hadi>thnya bisa dihafal, dijaga, tidak terjadi perubahan dari orang-orang yang ingin menghancurkan Islam, tidak terlupakan, dan tidak terjadi salah faham dalam hadi>th.
Jika memang hadi>th Muhammad saw bisa dijadikan h}ujjah dalam agama Islam, maka Muhammad akan menyuruh sahabat menghafal dan menjaga hadi>th agar bisa menjadi dalil yang pasti ketetapannya (Qat{’I> Thubu>t) bagi generasi setalahnya, karena sesuatu yang masih bersifat belum pasti ketetapannya (Dhani Thubu>t) tidak boleh dijadikan h}ujjah sebagaimana firman Allah surat al-Isra>’ ayat 36.
(وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ)
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.”
Ayat ini merupakan himbauan dari Allah akan larangan bagi semua umat Islam untuk mengikuti sesuatu yang masih belum jelas ketetapannya, karena sesuatau yang masih belum jelas akan tetetapannya bisa membuat umat Islam tersesat dari jalan rulus yang dirid}ai Allah. Di sisi lain terdapat pula ayat al-Qur’a>n yang menjelaskan larangan mengikuti perasangka, karena perasangkat sama sekali tidak membuahkan kebenaran. Tercatat dalam firman Allah suarat al-Najm ayat 28.
(إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً)
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaidah sedikit pun terhadap kebenaran.”
Kepastian tidak akan terdapatkan kecuali dengan adanya penulisan dan pembukuan hadi>th seperti yang diterapkan dalam al-Qur’a>n. Akan tetapi pada kenyataannya hadi>th tidak dibukukan, bahkan Muhammad saw melarang untuk menulis hadi>th dan memerintah menghapus semua hadi>th yang telah tertulis. Inilah yang mengindikasikan bahwa hadi>th bukan termasuk dalil shar’I yang bisa dijadikan h}ujjah bagi umat Islam.[4]
Di bawah ini adalah sebagian perkataan Muhammad saw akan larangan menulis hadi>th. Pemakalah menganggap penting mencantumkan hadi>th-hadi>th yang melarang menulis dan membukukan hadi>th, agar bisa menjadi bukti bahwa Muhammad saw benar-benar melarang sahabat menulis hadi>th dan sekaligus memperkuat bukti bahwa hadi>th Muhammad saw tidak bisa dijadikan hujjah.
1- Hadi>th yang diriwayatkan imam Muslim, Ahmad, Abu Ya’la, dan lain-lainnya.
(لا تكتبوا عنى شيئا إلا القرآن فمن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار)[5]
“Janganlah kalian menulis sesuatu selain al-Qur’a>n. Barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’a>n, maka hapuslah. Dan diperbolehkan bagi kalian membicarakan sesuatu dariku. Barang siapa yang berbohong padaku secara sengaja, maka telah dipersiapkan kursi baginya di neraka.”
2- Hadi>th yang datangnya dari Abi Sa’i>d. Diriwayatkan oleh Ahmad.
(كُنَّا قُعُودًا نَكْتُبُ مَا نَسْمَعُ مِنَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَخَرَجَ عَلَيْنَا، فَقَالَ: "مَا هَذَا تَكْتُبُونَ؟ فَقُلْنَا: مَا نَسْمَعُ مِنْكَ، فَقَالَ: "أَكِتَابٌ مَعَ كِتَابِ اللَّهِ؟ أَمْحِضُوا كِتَابَ اللَّهِ وَأخَلصُوهُ، قَالَ: فَجَمَعْنَا مَا كَتَبْنَا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ أَحْرَقْنَاهُ بِالنَّارِ، قُلْنَا: أَى رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَحَدَّثُ عَنْكَ؟ قَالَ: "نَعَمْ تَحَدَّثُوا عَنِّى، وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. قَالَ: فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَتَحَدَّثُ عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، تَحَدَّثُوا عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ، وَلا حَرَجَ، فَإِنَّكُمْ لا تَحَدَّثُوا عَنْهُمْ بِشَىْءٍ إِلاَّ وَقَدْ كَانَ فِيهِمْ أَعْجَبَ مِنْهُ)[6]
“Pada suatu saat kami duduk dan menulis sesuatu yang kami dengarkan dari Rasulallah saw, kemudian Rasul saw mendatangi kami. Rasul pun bertanya ‘Apa yang kalian tulis ini?’ kami menjawab ‘Sesuatu yang kami dengar dari Kamu’. Lantas Rasul saw berkata ‘Apakah masih ada tulisan lain selain tulisan kitab Allah? pahamilah kitab Allah dan itu cukup bagi kalian’. Kemudian kami mengumpulkan tulisan kami dalam satu tempat dan kamipun membakarnya….”
Dari dua hadi>th di atas menunjukkan Muhammad saw tidak menginginkan hadi>thnya menjadi sandaran umat Islam dalam segala urusan. Bahkan Muhammad saw merasa sangat takut para sahabat menyibukkan diri dengan hadi>thnya dan melalaikan al-Qur’a>n seperti yang terjadi pada masa yang kita injak sekarang, orang-orang sibuk belajar perkataan Syafi’I dan lalai pada al-Qur’a>n.
Sekali lagi pemakalah mengulangi, jika hadi>th Muhammad saw tergolong dalil yang bisa dijadikan h}ujjah bagi umat Islam samapai akhir zaman, maka Muhammad saw akan memerintah semua sahabat menulis hadi>thnya, agar hadi>th tidak lenyep, tidak tejadi penggelapan, pemalsuan, dan bisa diterima oleh generasi setelahnya secara mutawatir tanpa ada kata kuatir.
4- Hadi>th Tak Berfungsi Dalam Agama
Orang-orang yang mangatakan hadi>th Muhammad saw tergolong dasar dan pijakan umat Islam sama sakali tidak berdasarkan al-Qur’a>n dan ungkapan Muhammad saw sendiri, karena pada kenyataannya al-Qur’a>n tidak menyatakan hadi>th tergolong dasar agama Islam sebagaimana keterangan yang sudah lewat. Begitu pula dari hadi>th Muhammad saw sendiri menyatakan bahwa hadi>thnya tidak ada fungsinya dalam agama Islam. Lantas, berdasarkan apa mereka yang berpendapat hadi>th bisa dijadikan dasar agama Islam? Semua hanyalah omong kosong yang bertimbul dari fanatisme agama.
Bukti hadi>th Muhammad yang menerangkan bahwa hadi>thnya tidak ada fungsinya dalam agama sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Syaf’I, Baihaqi, dan lain-lain.
(إِنِّى وَاللَّهِ لاَ يُمْسِكُ النَّاسُ عَلَىَّ بِشَىْءٍ إِلاَّ أَنِّى لاَ أُحِلُّ إِلاَّ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِى كِتَابِهِ وَلاَ أُحَرِّمُ إِلاَّ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِى كِتَابِه)[7]
“Sungguh demi Allah, jangan sampai manusia berpegangan padaku dalam permasalahan apapun, karena sesungguhnya aku tidak menghalalkan sesuatu kecuali Allah telah menghalalkan sesuatu itu dalam kitabnya (al-Qur’a>n). Dan aku tidak mengharamkan sesuatu, kecuali Allah telah mengaharamkan dalam kitabnya.”
Hadi>th di atas mengindikasikan habwa perkataan Muhammad saw tidak ada gunanya, karena apa yang dikataakan Muhammad saw mengikuti keputusan al-Qur’a>n. Jika al-Qur’a>n berkata halal, maka Muhammad saw juga akan berkata halal dan begitu pula sebaliknya. Dan jika perkataan Muhammad saw tidak ada bedanya dengan al-Qur’a>n, maka ungkapannya hanya berupa tah}s}il al-H{as}il, sedangkan hal demikian itu tidak bagus. Selain itu, Muhammad saw memberi himbauan pada semua manusia agar tidak berprinsip padanya, akan tetapi Ia memerintahkan agar berprinsip pada al-Qur’a>n.
Dalam al-Qur’a>n juga menjelaskan posisi Muhammad saw yang hanya menjadi seorang utusan sebagaimana firman Allah surat Ali ‘Imran ayat 144
(وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ)
“Dan Muhammad hanyalah seorang rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul.”
Dari ayat ini menandakan bahwa posisi Muhammad saw hanyalah sebagai utusan Allah yang terutus setelah nabi-nabi terdahulu. Sekarang, apakah yang terlintas pada pikiran Anda mengenai utusan? Apakah utusan berhak berbicara tanpa adanya perintah? Apakah pantas ungkapan utusan yang tidak berasal dari orang yang mengutus dijadikan pijakan? Tugas utusan hanya sebatas menyampaikan kabar dari atasan, ia tidak berhak unjuk gigi, lebih-lebih sampai berkata perkataannya harus diikuti.
Muhammad saw sadar dan menyadari terhadap posisinya, oleh karena itu ia tidak memerintah umatnya mengikuti perkataannya, melainkan ia menganjurkan semua umat Islam perpegang terguh pada al-Qur’a>n bukan pada hadi>thnya. Akan tetapi yang perlu disayangi, kenapa generasi setelah Muhammad saw (tepatnya pada abad kedua hijriah) membalik suatu kebenaran dan menyimpulkan sendiri bahwa hadi>th Muhammad saw sebagai sandaran umat Islam? Dengan menggunakan alasan dan pemalsuan data agar ideologynya bisa diterima, padahal semua itu palsu dan tak berdasar.
III. Penutup
Al-Qur’a>n adalah pijakan umat Islam yang tidak ada duanya. Itu yang harus kita yakin bila kita masih merasa umat Islam. Namun, bagaimana nasib hadi>th Muhammad saw? Hadi>th Muhammad saw masih dan akan terus mendapatkan kritikan dari orang-orang yang ingin menghancurkan Islam lewat pikiran dan tulisan. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa keapsahan hadi>th Muhammad sebagai dasar agama Islam masih sangat lemah, karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hadi>th Muhammad bisa dijadikan pijakan kecuali dari perkataan nimoritas sahabat dan generasi umat Islam setelahnya.
Yakinkah Anda dengan perkataan mereka bahwa hadi>th bisa dijadikan dasar agama Islam? Bila dilihat dari kaca mata sejarah, pada era Muhammad saw siapakah yang berposisi sebagai Sha>r’i? Muhammad atau Allah? pertanyaan ini terpecahkan dari sejarah Islam yang mana di situ tertulis dengan jalas pada priode Muhammad saw hanya Allah yang berposisi sebagai Sha>r’I bukan Muhammad, karena Muhammad saw hanyalah pengantar pesan dari Sha>r’i. Lantas, mulai kapan hadi>th bisa dijadikan Sha>r’i? Pertanyaan yang harus dipecahkan bagi semua orang Islam yang ingin memperjuangkan hadi>th sebagia sandaran agama Islam.!
Sebenarnya jika diteliti lagi, umat Islam pada masa sahabat tidak pernah berpegang pada hadi>th Muhammad saw. Bisa dijadikan butki, Umar bin Khat}ab sawaktu menjadi khalifah umat Islam, ia meralarang bahkan memasukkan ke dalam sel bagi orang-orang yang banyak berbicara hadi>th Muhammad saw. Salin itu, Zaid bin Tha>bit pun melarang orang-orang yang menulis hadi>th Muhammad, padahal waktu itu Muhammad saw telah meninggal dunia. Jika orang-orang beranggapan Muhammad melarang menulis hadi>th pada masa hidupnya disebabkan takut tercampur aduk antara al-Qur’a>n dan hadi>th, maka alasan ini bisa ditepis dengan larangan Zaid bin Tha>bit di atas. Bukan hanya Zaid bin Tha>bit yang melarang, namun Abu Hurairah dan mayoritas sahabat pun juga melarang orang yang menulis hadi>th Muhammad saw setelah wafatnya Muhammad saw. Sedangkan wafatnya Muhammad saw identik dengan berakhirnya yahwu Allah.
Apakah ini belum cukup dijadikan dasar umat Islama bahwa hadi>th tidak termasuk dalil agama Islam? Mari gunakan pikiran dan hilangkan fanatisme ideology, karena fanatisme itulah yang meyebabkan buntuknya pikiran akan kebenaran yang nyata.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, mari kita semua membaca dua syahadat sebagai butki keislaman kita dan kepercayaan kita pada agama Islam. Islama adalah agama paling benar, itu yang harus terpendam dalam lubuk hati kita.
Referensi
Abu Bakar Ahmad bin Husen bin ‘Ali al-Baihaqi, Sunan al-Kubra> li al-Baihaqi. India: Majlis Da>irah al-Ma’a>rif al-Niz}amiyah, 1987.
Abdullah Muhamamd al-Amin al-Na’i>m. Al-Istishra>q fi al-Sirah al-Nabawiyah. Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikri al-Islami, 1997.
Ahmad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ahmad bin H{anbal. Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1999.
Ahmad Ibra>hi>m H{amu>r, Al-Had}a>rah al-Isla>miyah. Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 2003.
Jala>l al-Din ‘Abdurrahman al-Suyut}I, Ja>mi’ al-Ah}a>di>th. Bairut: Da>r al-Fikr, 1994.
Muhammad bin Muhammad Abu Shahbah. Difa>’ ‘an al-Sunnah wa Raddu Shubah al-Mustashriqin wa al-Kutta>b al-Mu’a>s}irin wa Bayan al-Shubah al-Wa>ridah ‘ala> al-Sunnah Qadi>man wa Hadi>than. Kairo: Maktabah al-Sunah, 1989.
[1] Abu Bakar Ahmad bin Husen bin ‘Ali al-Baihaqi, Sunan al-Kubra> li al-Baihaqi, (India: Majlis Da>irah al-Ma’a>rif al-Niz}amiyah, 1987), 10/114.
[2] Ahmad Ibra>hi>m H{amu>r, Al-Had}a>rah al-Isla>miyah, (Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 2003), 240.
[3] Ahmad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ahmad bin H{anbal, (Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1999), 17/149.
[4] Muhammad bin Muhammad Abu Shahbah. Difa>’ ‘an al-Sunnah wa Raddu Shubah al-Mustashriqin wa al-Kutta>b al-Mu’a>s}irin wa Bayan al-Shubah al-Wa>ridah ‘ala> al-Sunnah Qadi>man wa Hadi>than, (Kairo: Maktabah al-Sunah, 1989), 406.
[5] Jala>l al-Din ‘Abdurrahman al-Suyut}I, Ja>mi’ al-Ah}a>di>th, (Bairut: Da>r al-Fikr, 1994), 16/318.
[6] Ahmad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ahmad bin H{anbal…, 1/313.
[7] Abu Bakar Ahmad bin Husen bin ‘Ali al-Baihaqi, Sunan al-Kubra> li al-Baihaqi…, 7/75.
Comments
Post a Comment