Al-Qira>ah al-Sha>ddah


By: Muhammad
A-  Pendahuluan
Dari pertemuan yang telah berlangsung saat kuliah, kita telah banyak membahas masalah sejarah perkembangan Qira>’a>t, sebab munculnya Qira>’a>t, dan membahas tentang para biografi serta metode baca imam-imam yang mu’tabarah. Namun pengetahuan kita bisa dibilang kurang sempurnah, jika kita tidak mengetahui tentang bacaan Sha>ddah, apa sebab bacaan al-Qur’a>n masuk dalam katagori Sha>ddah, dan siapa saja yang menyebarkan bacaan Sha>ddah tersebut. Oleh karena itu, pemakalah mengambil tema tentang bacaan Sha>ddah agar kita semua bisa mengetahi dengan sempurna dalam masalah Qira>’a>t.
Pembahasan kalin ini meliputi beberapa aspek yaitu: definisi al-Qira>’ah al-Sha>ddah, macam-macam al-Qira>’ah al-Sha>ddah, orang yang menyebarkan dan mengarang kitab tentang al-Qira>’ah al-Sha>ddah, hukum al-Qira>’ah al-Sha>ddah, hukum amal dengan menggunakan al-Qira>’ah al-Sha>ddah, perawi al-Qira>’ah al-Sha>ddah.
B-  Pembahasan
1-   Definisi al-Qira>’ah al-Sha>ddah
Kata al-Shudhu>dh bila dilihat dari segi bahasa, maka ia terlahir dari kata Shadha, Yashudhu, Shudhu>dhan. Dalam kitab Lisa>n al-‘Arab dijelaskan arti kata tersebut adalah orang yang menyendiri dari perkumpulan.[1] Kata al-Shudhu>dh bila dilihat dari segi istilah memiliki arti setiap bacaan yang tidak mengikuti rukun-rukun bacaan yang tiga, yaitu Mutawa>tir, mencocoki pada tulisan Uthma>ni, dan mencocoki pada kaidah Nah{wu. Dari sini bisa disimpulkan, setiap bacaan yang tidak mengikuti pada 3 rukun di atas bisa dikataan bacaannya Sha>dh.[2]
2-   Macam-macam al-Qira>’ah al-Sha>ddah
Bukan hanya pembahasan hadis saja yang mempunyai tingkatan-tingkatan, akan tetapi saat membahas Qira>ah kita juga akan menemukan macam-macam tingkatan. Adapun macam-macam al-Qira>’ah al-Sha>ddah terbagi menjadi lima bagian yaitu:[3]
a)      Al-Ah}a>d, yaitu bacaan yang sahih sanadnya, akan tetapi berbeda dengan mus}h}af uthmani atau kaidah bahasa Arab dan tidak sampai pada tingkat mutawatir.
b)      Al-Sha>dh, yaitu model bacaan yang tidak tiga syarat yang telah disebut di atas meskipun hanya satu saja.
c)      Al-Mudaraj, yaitu bacaannya melebihi mus}h}af uthmani yang kelebihannya hanya untuk menafsirkan ayat.
d)      Al-Maud}u’, yaitu bacaan yang disandarkan bukan pada perawi aslinya.
e)      Al-Mashhu>r, yaitu bacaan yang sanadnya sahih, mencocoki pada kaidah bahasa Arab, akan tetapi tidak sampai masuk dalam katagori mutawatir.
3-   Pertama kali penyebar dan pengarang kitab tentang al-Qira>’ah al-Sha>ddah
Tercatat dalam sejarah bahwa kali perama orang yang mengarang dan menyebarkan model bacaan Sha>dhah adalah Haru>n bin Mu>sa>, Abu> ‘Abdullah al-‘Awar, al-Atki> al-Bas}ri>, dan al-Azdi>. Merekalah adalah para tokoh yang membuat karya tulis tentang bacaan Sha>dhah dengan sempurnah.[4]
4-   Hukum al-Qira>’ah al-Sha>ddah
Ulama sepakat tidak boleh membaca al-Qur’a>n dengan bacaan Sha>dhah baik saat mengerjakan salah atau tidak. Mengenai hal ini, Imam al-Nawawi> berkata “Tidak diperbolehkan membaca dalam salah atau diluar salah dengan menggunakan bacaan Sha>dhah. al-Qira>’ah al-Sha>ddah tidak termasuk dari ayat al-Qur’a>n, sebab al-Qur’a>n itu sendiri harus sampai pada tangan kita dengan cara mutawatir, sedangkan al-Qira>’ah al-Sha>ddah tidak bersifat mutawatir. Orang yang berpendapat diperbolehkan membaca dengan al-Qira>’ah al-Sha>ddah, maka perkataan itu salah atau ia memang tidak tahu. Ulama Baghdad sepakat bagi orang yang membaca al-Qur’a>n dengan al-Qira>’ah al-Sha>ddah, maka ia harus cepat-cepat disuruh bertaubat.”[5]
5-   Hukum amal al-Qira>’ah al-Sha>ddah
Setelah kita mengetahui ketidak bolehan membaca al-Qur’a>n dengan bacaan yang Sha>dh, sekarang pembahasan kita beralih pada hukum merumuskan hukum atau mengamalkan sesuatu yang diambil dari al-Qira>’ah al-Sha>ddah. Mayoritas ulama sepakat akan kebolehan merumuskan hukum dari al-Qira>’ah al-Sha>ddah dan boleh juga mengamalkan dari al-Qira>’ah al-Sha>ddah, sebab mereka beranggapan al-Qira>’ah al-Sha>ddah sama halnya dengan hadis al-A<h}ad. Bahkan sering kalin para ulama merumuskan hukum dari al-Qira>’ah al-Sha>ddah. Seperti dalam sangsi pemotongan tangan bagi orang yang mencuri. Tangan kana yang harus dipotong sangan ada pencuri. Rumusan hukum ini diambil dari al-Qira>’ah al-Sha>ddah yang datangnya dari Ibnu Mas’u>d yang membaca ayat potong tangan dengan والسارق والسارقة فاقطعوا أيمانهما.
Selain contoh di atas, masih ada pula contoh lain yang perumusnya Imam Hanafi. Beliau beranggapan kaffarah bari orang yang melanggar sumpah harus puasa 3 hari berturut-turut. Beliau berkata demikian mengambil dari bacaan Ibnu Mas’u>d فصيام ثلاثة ايام متتابعات.
6-   Perawi al-Qira>’ah al-Sha>ddah
Tercatat dalam kitab al-Nuju>m al-Za>hirah fi> Tara>jim al-Qurra>’ al-‘Arba’ah al-‘Ashar nama-nama tokoh yang meriwayatkan al-Qira>’ah al-Sha>ddah, akan tetapi dalam kitab ini peninjauannya hanya dalam segi keumumannya saja. Adapun di antara nama-nama tokoh yang meriwayatkan al-Qira>’ah al-Sha>ddah ialah:[6]
a-      Abdullah bin Mas’u>d (W 32 H)
b-      Masru>q bin al-Ajda’ bin Ma>lik (W 62 H)
c-      Abdullah bin Zubair bin ‘Awa>m (W 73 H)
d-      Ans}r bin ‘A<s}im al-Laithi> (W 99 H)
e-      Muja>hid bin Jabar (W 103 H)
f-       Ubba>n bin Uthma>n bin Affa>n (W 105 H)
g-      Abu Mu>sa> al-‘Ash’ari> (W 52 H)
h-      Al-D{ah{h{a>k bin Maza>h}im (W 105 H)
i-       Muhammad bin Sirin (W 110 H)
j-        Qata>dah bin Di’a>mah (W 117 H)
k-      Ibrahim bin Abi> ‘Ublah (W 151 H)
l-        Sufya>n bin Sa’i>d bin Masru>q al-Thauri> (W 161 H)
C-  Penutup
Dari keterangan di atas, kita bisa mengetahui bahwa posisi al-Qira>’ah al-Sha>ddah tidak jauh beda dengan hadis A<h}a>d atau dalam masalah bolehnya merumuskan hukum dari al-Qira>’ah al-Sha>ddah tersebut. Sebagai bukti bahwa al-Qira>’ah al-Sha>ddah sering digunakan saat merumuskan hukum sebagaimana contoh yang telah pemakalah sebutkan di atas. Meski dalam boleh hukumnya merumuskan hukum dari al-Qira>’ah al-Sha>ddah, namun mayoritas ulama sepakat akan ketidak bolehan membaca al-Qur’a>n dengan al-Qira>’ah al-Sha>ddah baik dalam saat mengerjakan salat maupun di luar solat. Lebih dari itu, Imam Nawawi menjelaskan bagi orang yang membaca al-Qur’a>n dengan menggunakan al-Qira>’ah al-Sha>ddah harus cepat-cepat bertaubat dan tidak boleh mengulangi lagi.














Referensi
Ibn al-Jazari. Gha>yah al-Niha>yah fi> T{abaqa>t al-Qurra>’. Kairo: Da>r Ibn H}azem, 1996.
Mas}ri> (al), Muhammad bin Mukram bin Mandzu>r. Lisa>n al-‘Arab. Bairu>t: Da>r S{a>dir, 1998.
Nawawi> (al), Abu> Zakaria bin Sharaf. al-Tibya>n fi> A<da>b H{amlah al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Sala>m, 1999.
S{a>bir H}asan Muhammad Abu> Sulaima>n. al-Nuju>m al-Za>hirah fi> Tara>jim al-Qurra>’ al-‘Arba’ah al-‘Ashar. Riya>d: Da>r ‘A<lam al-Kutub, 1998.
Suyu>t}i> (al), Jalaluddin. al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: al-H}alibi>, 1988.



[1] Muhammad bin Mukram bin Mandzu>r al-Mas}ri>, Lisa>n al-‘Arab, (Bairu>t: Da>r S{a>dir, 1998), 28-29.
[2] Jalaluddin al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: al-H}alibi>, 1988), 129.
[3] S{a>bir H}asan Muhammad Abu> Sulaima>n, al-Nuju>m al-Za>hirah fi> Tara>jim al-Qurra>’ al-‘Arba’ah al-‘Ashar, (Riya>d: Da>r ‘A<lam al-Kutub, 1998), 80-81.
[4] Ibn al-Jazari, Gha>yah al-Niha>yah fi> T{abaqa>t al-Qurra>’, (Kairo: Da>r Ibn H}azem, 1996), 2/348.
[5] Abu> Zakaria bin Sharaf al-Nawawi>, al-Tibya>n fi> A<da>b H{amlah al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r al-Sala>m, 1999), 47.
[6] S{a>bir H}asan, al-Nuju>m al-Za>hirah, 87.

Comments