By: Muhammad
I.
Pendahuluan
Ilmu
Tafsir merupakan sebuah ilmu yang mempunyai peringkat pertama untuk dipelajari
jika dibandingkan ilmu-ilmu lain. Ungkapan seperti ini tidak ada pemungkir,
sedangkan pemungkir ungkapan ini hanyalah orang yang tidak pernah percaya
adanya cahaya matahari di bumi.
Tanpa menggunakan logika, seseorang
bisa mengetahui poin pembahasan ilmu tafsir yaitu: membahas Kalam Ilahi yang tidak
datang padanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang di
turunkan dari Tuhan Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Posisi semua ilmu selain
ilmu Tafsir sebagai penopang atau instumen dari al-Qur’a>n, contoh kecil
seperti Ilmu Rhetoric, Ilmu ini bertugas sebagai pengantar agar bisa
memahami al-Qur’a>n dari segi literatur yang ada di dalamnya dan
mengetahui bahwa Kitab Suci umat Islam benar-benar mempunyai I’ja>z, Ilmu Syntax
dan Morphology berposisi sebagai pembantu agar bisa memahami al-Qur’a>n
melalui lafad-lafad dan mengklasifikasi lafad-lafad yang bersangkutan, Ilmu Foundations
of Islamic Jurisprudence bertugas
sebagai prolog untuk mengetahui hukum-hukum syariat yang pengambilannya dari
al-Qur’a>n dan begitu juga ilmu-ilmu yang lain semua mempunya peranan
figuran al-Qur’a>n. Oleh karena itu, Ilmu Tafsir merupakan Ilmu yang Trending
Topic (pembahasan yang hangat) dan mendapatkan perhatian lebih dari seluruh
umat Islam di dunia di bandingkan ilmu-ilmu lain.
Ilmu Tafsir menjadi Trending Topic
mulai dari permulaan turunnya al-Qur’a>n yang dibawa Jibril untuk dihadiahkan
pada Muhammad. Sewaktu Jibril melantunkan kalimat-kalimat Suci Nabi
tergesa-gesa untuk menghafalnya dan memerintah Jibril agar mempercepat
bacaannya, hingga Allah memerintahkannya untuk bersabar dan tidak tergesa-gesa,
karena Allah berjanji akan menjaga hafalan, menanamkan pada hatinya dan Allah
akan menafsirkan dan menjelaskan arti dari ayat suci yang telah di turunkan
padanya sebagaimana dalam firman Allah surat al-Qiya>mah ayat 16-19
(لا
تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ، إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ،
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ، ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ)
“Janganlah kamu
gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’a>n kerena hendak cepat-cepat,
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu
pandai membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”.
Tugas Nabi tidak terbatas untuk
mengfapal al-Qur’a>n saja, akan tetapi Nabi juga diperintah menyampaikan dan
menerangkan pada semua pengikutnya sebagaiman yang tercatat dalam surat al-Nah}l
ayat 44
(وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ)
“Dan
Kami turunkan kepadamu al-Qur’a>n, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah dirutunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya”.
Selain itu, al-Qur’a>n juga
memerintahkan Nabi Muhammad dan umatnya agar merenungi ayat-ayat dan mencari
hakikat dari arti yang benar. Dalam firman Allah surat S}a>d ayat 29.
(كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو
الْأَلْبَابِ)
“Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran”.
Oleh karena itu, para sahabat selalu
menjaga dan mencari tahu arti dari satu ayat ke ayat yang lain sebagaimana yang
telah dijelaskan olah Ibnu Jari>r dari Ibnu Mas’u>d “Jika ada salah satu
dari kami (sahabat Nabi) belajar sepuluh ayat dari al-Qur’a>n, maka tidak
akan berpindah pada ayat lain samapai mengetahui arti dan merealisasikannya
dengan sungguh-sungguh”
II.
Pembahasan
1- Tafsir Masa Nabi Muhammad
Tafsir al-Qur’a>n muncul mulai
dari awal mula turunnya al-Qur’a>n pada Nabi Muhammad dan tetap eksis sampai
saat ini. Tafsir pun tidak akan mati hingga datangnya hari kiamat kelak, akan
tetapi metode transfernya yang berbeda, karena setiap manusia
mempunyai kemampuan dan kapasitas pemahaman berbeda-beda. Dengan demikian
Tafsir di zaman Nabi dan sahabat berbeda dengan Tafsir di era setelahnya.
Bila dibandingkan dengan masa
setelah Rasul saw, maka bisa dikataan pada zaman Rasul saw penafsiran al-Qur’a>n
bisa dibilang sangat begitu sempit disebabkan mereka orang arab yang mengetahui
literatur bahasa Arab dan pada saat itu mayoritas para sahabat mengerahui
sebab-sebab turunnya wahyu. Beda halnya dengan tafsir setelah masa Rasul, pada
saat itu tafsir sudah berkembang dan mengangkasa, semua itu disebabkan
pemahaman dan kepekaan orang Islam terhadap bahasa Arab sudah mengalami
kemerosotan, karena banyaknya orang non Arab menikah dengan orang Arab dan meluasnya
negara yang ditaklukkan oleh umat Islam pada saat itu. Inilah yang menjadi
unsur tercampurnya bahasa Arab dengan bahasa asing yang mengakibatkan adanya da>khil.
Meskipun pada saat itu para sahabat ahli dalam bahasa
Arab, namun tidak semua dari sabahat mengetahui satu-persatu arti dan maksud
dari ayat al-Qur’a>n. Oleh karena itu, para sahabat sering bertanya pada
Nabi mengenai arti ayat yang masih samar baginya sebagai contoh firman Allah
surat an-Nisa’ ayat 57
(لَهُمْ
فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ)
“Di
sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci”.
Dalam ayat ini sahabat masih kurang begitu faham mengenai arti kalimat mut}ahharah, kemudian mereka bertanya pada Rasul saw. Rasul
saw pun menjelaskan maksud dari lafad itu yang mempunyai arti suci dari haid,
air kecil, dan air besar.[1]
2- Macam-macam Tafsir di Masa Rasul
Terdapat keterangan dari Ibnu Abbas
yang diriwayatkan oleh Ibnu Jari>r dalam Tafsirnya bahwa
macam-macam tafsir pada masa Rasul saw ada empat macam sebagaimana berikut;[2]
a-
Tafsir
yang bisa diketahui orang Arab dari bahasa sehari-harinya.
b-
Tafsir
yang bisa diketahui semua orang tanpa terkecuali.
c-
Tafsir
yang hanya bisa diketahui orang-orang pintar (ulama).
d-
Tafsir
yang hanya diketahui oleh Allah.
Dari
macam-macam tafsir di atas Rasul saw tidak menjelaskan bagian yang pertama,
karena pada saat itu al-Qur’a>n di turunkan di Arab dan masyarakat di sana
mengetahui bahasa Arab. Bagian tafsir kedua pun Rasul saw tidak menjelaskan,
karena lafad al-Qur’a>n tidak samar bagi perindividu. Pada bagian yang
keempat Rasul saw tidak menjelaskan pada umatnya, karena hanyalah Allah yang
mengetahui maksud dan rahasia di balik perkataan-Nya itu. seperti penjelasan
tentang hari kiamat dan sesuatu yang bersangkutan dengan hal-hal ghaib.
Hanya bagian ketigalah yang Rasul
jelaskan pada para sahabat yaitu Tafsir yang hanya bisa diketahui orang-orang
pintar (ulama) seperti penjelasan mengenai ayat-ayat yang masih bersifat
global, men-takhs{is{ lafad yang bersifat umum, dan lain sebagainya yang masuk
dalam katagori samar menurut pandangan mereka. Dari sini, muncullah dua macam
tafsir ayat al-Qur’a>n yang Pertama tafsir sahabat yang bersumber
dari Rasul saw, ini bisa didapatkan dari para sahabat yang selalu besama Rasul
dan mendengarkan penjelasannya langsung dan Kedua tafsir sahabat
yang bersumber dari ijtihad dan pemikiran mereka sendiri, ini berlaku bagi para
sahabat yang jaraknya sangat jauh dari Rasul, sehingga mereka dipaksa untuk
menafsiri al-Qur’a>n sesuai dengan kebutuhan mereka dengan bekal bahasa
Arab, budaya Arab, sebab-sebab turunnya ayat, meneliti ahlul kitab yang hidup
di daerah Arab, dan lain-lain. Adapun teks dari perkataan al-Dhahabi di atas
sebagaimana berikut:
المصدر
الثالث – الإجتهاد وقوة الإستنباط- وذلك إذا لم يجدوا التفسير فى كتاب الله تعالى,
ولم يتيسر لهم أخذه عى النبي مباشرة او بالوساطة. فحينئد يكون الإجتهاد واجبا على
من تتوافر فيه شروط الإجتهاد.[3]
3- Apakah Rasul saw Menafsirkan Semua Ayat
al-Qur’a>n?
Terdapat kontradiksi antara ulama
mengenai penafsiran al-Qur’a>n pada masa Rasul saw. Muculnya kontradiksi itu
bersinyalir dari sebuah pertanyaan “Apakah Rasul saw menafsiri keseluruhan ayat
dari al-Qur’a>n ataukah hanya sebagaian saja yang menurut para sahabat masih
samar?”
Sebagian ulama beranggapan bahwa
Rasul saw menjelaskan atau menafsirkan keseluruhan dari ayat-ayat yang
terkandung dalam al-Qur’a>n. Ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh
Ibnu Taimiyah.[4]
Sebagian ulama ada pula yang berpendapat
bahwa Rasul hanya menafsiri sedikit dari ayat al-Qur’a>n sebagaimana yang di
ungkapkan oleh al-Khuwaini.[5]
Dan sebagian lagi berpendapat bahwa Rasul banyak menafsiri ayat-ayat al-Qur’a>n,
namun tidak keseluruhan. Pendapat terakhir ini ialah pendapat dari Husen al-Dhaha>bi>.[6]
Di bawah ini adalah penjelasan satu-persatu dari pendapat ulama serta pendapat
yang lebih dibenarkan oleh mayoritas ulama.
Pendapat
Ibnu Taimiyah. Ia berpandangan bahwa Rasul saw menjelaskan dan menfsiri seluruh
ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’a>n berdasarkan firman Allah surat al-Nah{l ayat 44
(وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ)
“Dan
Kami Turunkan al-Qur’a>n kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
Dari ayat di atas sangat jelas bahwa
Allah menurunkan al-Qur’a>n pada Muhammad saw agar Muhammad saw menjelaskan
pada umat manusia tentang semua isi al-Qur’a>n. Menurut logika, tidak
mungkin Muhammad saw menjelaskan sebagaian saja, karena dalam ayat di atas
merupakan sebuah perintah untuk menjelaskan semua yang ada dalam al-Qur’a>n.
Bila Rasul saw menjelaskan sebagian saja, maka Rasul saw lalai pada tugasnya
yaitu menjelaskan semua isi al-Qur’a>n pada umat manusia.
Dalil yang memperkuat bahwa Rasul saw
menafsiri semua ayat al-Qur’a>n ungkapan dari Abu Abdurrahma>n al-Salimi. Ia berkata “Diceritakan
dari orang-orang yang mengajarkan al-Qur’a>n pada kami seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin
Mas’ud, dan lain-lainnya bahwa bila mereka belajar al-Qur’a>n pada Rasul saw
10 ayat al-Qur’a>n, mereka tidak akan meninggalkannya sehingga mereka bisa
benar-benar memahami dan mengamalkannya”.
Ungkapan para sahabat mengenai metode pembelajaran
al-Qur’a>n pada Rasul saw ini mengindikasikan Rasul saw menerangkan semua
arti ayat al-Qur’a>n, karena para sahabat sendiri yang mengatakan bila sudah
mendapat 10 ayat mereka tidak akan meninggalkan begitu saja sebelum mengetahui
benar-banar. Dan metode pembelajaran Rasul saw pada semua sahabat maksimal
hanya 10 ayat.
Adapaun dalil yang menjadi sandaran
ulama bahwa Rasul hanya menafsiri sebagain saja dari al-Qur’a>n yaitu hadits
yang datang dari ‘A<ishah
(قال أَبُو يَعْلَى : ثنا إِسْحَاقُ ، ثنا مَعْنٌ عَنْ فُلَانِ ابن
مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ
عَائِشَةَ ، إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا
يُفَسِّرُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ إِلَّا آيًا بِعَدَدِ عَلَّمَهُنَّ إِيَّاهُ
جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ)[7]
“Sesungguhnya
Rasul saw tidak menafsiri seditpun dari ayat al-Qur’a>n kecuali yang
beberatapa ayat yang telah Jibril ajarkan pada Rasul saw”.
Dari hadi>th
di atas menunjukkan bahwa Rasul tidak menafsiri semua dari ayat-ayat al-Qur’a>n,
melainkan hanya sebagian saja dan itupun
mengikuti sebagaimana yang telah Jibril ajarkan padanya. Jika benar Rasul
menafsiri semua ayat al-Qur’a>n sebagaiaman yang telah Ibnu Taimiyah
sampaikan di atas, maka ‘A<ishah tidak mungkin berkata Rasul hanya menafsiri
sebagian dari ayat al-Qur’a>n.
Para ulama
berpendapat bahwa Allah tidak memerintah Rasul saw untuk menafsiri semua ayat al-Qur’a>n,
karena al-Qur’a>n diturunkan agar semua hamba Allah bisa berfikir lewat al-Qur’a>n
dari setiap ayat yang tidak terdapat penjelasan melalui tanda-tanda dan
bukti-bukti nyata.[8]
Salain itu,
jika Rasul saw menjelaskan semua ayat al-Qur’a>n, maka apa gunanya Rasul saw
mendoakan Ibnu ‘Abbas agar bisa menjadi orang yang alim fikih dan pandai dalam
menta’wil al-Qur’a>n?[9]
4- Model
Penafsiran Pada Masa Rasul
Ada beberapa model atau cara penafsiran yang diterapkan Rasul saw
saat menafsirkan atau menjelaskan al-Qur’a>n pada para sahabat. Metode
penafsiran itu sebagaiamana berikut:[10]
a-
Menjelaskan ayat yang masih bersifat global. Contoh firman
Allah surat al-Baqarah ayat 42
(وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ)
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”.
Kewajiban shalat dan membayar zakat
yang tertera dalam al-Qur’a>n masih sangat global, karena al-Qur’a>n
sendiri tidak menejelaskan secara jelas praktek shalat yang dishariatkan. Dari keglobalan ini, Rasul
saw menjelaskan pada semua umatnya praktek shalat yang benar dan waktu-waktu
wajibnya shalat. Beigut pula dengan zakat, dalam al-Qur’a>n tidak menjelaskan
benda apa saja yang bisa dijadikan
zakat? Dan berapakah ukuran zakat itu sendiri? Semua keglobalan ini dijelaskan
oleh Rasul saw dari hadits-haditsnya.
b-
Menjelaskan sesuatu yang belum bisa difahami langsung oleh
sahabat.
Sebagai contoh firman Allah surat
al-Baqarah ayat 187
(لَهُمْ
فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ)
“Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan
yang suci”.
Mengenai ayat di atas sebagian sahabat
masih bingung dan belum faham maskud dari mendapatkan istir yang suci di surga
kelak. Rasul menjelaskan arti dari sucinya istri di surga dengan wanita yang tidak
haid, buang air kencing, dan air besar.
c-
Men-sepesifik-kan ayat yang masih umum.
Para sahabat bertanya pada Rasul
mengenai lafad Z{ulm yang tercatat dalam firman Allah
surat al-An’a>m ayat
82.
(الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ)
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman”.
Sahabat berkata “Wahai Rasulallah
siapakah diantara kami yang tidak pernah mengerjakan kez}aliman?” Rasul saw menjawab “Bukan
seperti itu maksud dari lafad Z{ulm. Apakah kamu pernah mendengar firman Allah yang menjelaskan
perkataan Luqman pada anaknya?
(يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ
عَظِيمٌ)
“Wahai anakku! Janganlah engkau
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kedzaliman yang besar”. (surat Luqman ayat 13).
Pada awalnya sebagaian sahabat mengira
bahwa maksud dari lafad Z{ulm ialah kedzaliman seperti biasa yang
terjadi pada diri manusi. Jika memang benar begitu, maka tidak ada satupun dari
manusia yang bisa menghindarinya. Namun setelah mendapatkan penjelasan dari
Rasul saw, mereka bisa memahami maksud dari lafad dzulmu dalam ayat di atas
mempunyai arti syirik.
d-
Taqyi>d al-Mutlaq.
Sebagaiamana firman Allah surat al-Ma>idah ayat 38
(وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُما)
“Adapun laki-laki dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya”.
Ayat pemotongan tangan bagi pencuri
ini masih bersifat mutlak, karena tidak ada penjelasan tangan sebelah mana yang
harus dipotong ketika mencuri. Dari sini, Rasul saw menjelaskan pada sahabat
bahwa tangan sebelah kanan yang harus dipotong bagi pencuri.
Empat manhaj inilah yang dipakai oleh Rasul saw saat menafsirkan al-Qur’a>n pada para
sahabat.
III.
Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa
mengetahui tafsir al-Qur’a>n merupakan hal paling agung, karena al-Qur’a>n
adalah friman Allah dan al-Qur’a>n adalah sumber primer Islam yang berada
diposisi pertama. Selain itu, semua jenis ilmu seperti fikih, nah{wu s{araf,
dan lain sebagainya selalu bergantung pada al-Qur’a>n. Coba bayangkan,
bagaimana ilmu fikih bisa tercipta bila tidak ada al-Qur’a>n? bagiamana bisa
ada hadi>th Rasul saw bila tidak ada al-Qur’a>n? Karena bila dilihat fungsi hadi>th sebagai
penjelas dari ayat-ayat al-Qur’a>n dan bila dalam al-Qur’a>n sudah
dijelaskan dengan jelas, maka hadith tidak akan muncul dengan berlawanan.
Tidak bisa dipungkiri akan minimnya tafsir pada masa Nabi
Muhammad saw, beda halnya dengan masa setelah Nabi saw dan para sahabat. Semua
itu disebabkan para sahabat tidak membutuhkan penjelasan lebih mendalam, karena
al-Qur’a>n diturunkan dengan bahasa arab sedangakn para sahabat adalah
orang-orang yang mahir dalam bahasa arab baik bersangkutan dengan bala>ghah,
nah{wu, s{araf, dan ilmu alat lainnya.
Dan terakhir, pada masa Nabi Muhammad
sangatlah minim perbedaan pendapat mengenai tafsir al-Qur’a>n, karena bila
para sahabat berbeda pendapat atau ada yang tidak difahami ayat dari al-Qur’a>n,
mereka langsung bertanya pada Rasul saw sehingga pemahaman mereka bisa menyatu
dan menjadi unsur minimnya berbedaan pendapat dalam memahami al-Qur’a>n.
Referensi
Andalusi (al)
Abu Abdullah bin Muhammad, Al-H{ada>iq
fi al-Mat}a>lib al-‘A<liyah.
Damaskus: Da>r al-Fikr. 1988.
Dhahabi
(al) Muhammad Husen, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: Maktabah
Wahbah. 2000.
_______.
‘Ilm al-Tafsi>r. Kairo:
Da>r al-Ma’a>rif. 1325.
‘Id
Khid}ir Muhammad Khid}ir, Al-Id}a>h wa al-Baya>n fi Ulu>m
al-Qur’a>n. Kairo: Mujalla>d
al-Arabi. 2010.
Ibu
Taimiyah, Sharh{ Muqaddimah fi Us}uli al-Tafsi>r. Saudi Arabiyah:
Da>r Ibn al-Jauzi>. 1427.
Qurt}ubi
(al) Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar, Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m
al-Qur’a>n. Bairut: Muassash al-Risa>lah, 1428.
Ru>mi
(al) Fahd bin Abdurrahma>n bin Sulaima>n, Buh{uth fi Us}ul
al-Tafsi>r wa Mana>hijuh. Riyad}: Maktabah al-Taubah. 1990.
Suyu>t}i>
(al) Jala>luddin Abdurrahma>n, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n.
Kairo: Da>r al-Hadi>th. 2004M/1425H.
[1] ‘Id Khid}ir Muhammad Khid}ir, Al-Id}a>h
wa al-Baya>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Mujalla>d al-Arabi,
2010), 356.
[4] Ibu
Taimiyah, Sharh{ Muqaddimah fi Us}uli al-Tafsi>r, (Saudi Arabiyah:
Da>r Ibn al-Jauzi>, 1427), 17.
[5] Jala>luddin Abdurrahma>n al-Suyu>t}i>,
Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r al-Hadi>th,
2004M/1425H), 2/174.
[7]
Abu Abdullah bin Muhammad al-Andalusi, al-H{ada>iq
fi al-Mat}a>lib al-‘A<liyah, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1988), 427.
[9] Muhammad
bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}ubi, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m
al-Qur’a>n, (Bairut: Muassash al-Risa>lah, 1428), 1/ 266.
[10] Fahd bin
Abdurrahma>n bin Sulaima>n al-Ru>mi, Buh{uth fi Us}ul al-Tafsi>r
wa Mana>hijuh, (Riyad}: Maktabah al-Taubah, 1990), 19.
Comments
Post a Comment